“Demikian juga dengan tidak memberikan hak jawab secara seimbang, maka pemberitaannya bisa mengarah pada provokasi dan pencemaran nama baik, bahkan lebih jauh bisa dianggap memutar balikan fakta dan penyebaran berita bohong,” tegas Abdul.
Di sisi lain, Abdul menegaskan jika media tersebut memenuhi hak jawab yang diberikan pihak terkait dan pemberitaan yang dilakukan seimbang, maka tuduhan yang dilayangkan dapat gugur.
Dirinya menilai pasal perintangan penyidikan atau pengusutan perkara (obstruction of justice) baru dapat dikenakan jika media tersebut tidak melayani hak jawab, mediasi, ataupun rekomendasi Dewan Pers.
“Dengan tidak memberikan keseimbangan, maka baru bisa pemberitaan itu ditafsirkan sebagai perintangan penyidikan,” ungkap Abdul. “Seharusnya ditempuh mekanisme Dewan pers, toh jika ada unsur pidananya akan diserahkan ke ranah pidana.”
Terpisah, Ketua Asosiasi profesi jurnalis yakni Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Herik Kurniawan menegaskan pihaknya mempertanyakan langkah Kejaksaan tersebut, apabila dasar Tian ditetapkan sebagai tersangka akibat konten jurnalistik utamanya berita negatif yang merintangi penyidikan.
Menurutnya, penyampaian informasi yang bersifat kritis merupakan bagian dari kerja pers yang dijamin Undang-Undang No 40 tahun 1999 tentang Pers. Herik menilai, jika dasar penetapan tersangka akibat produk pemberitaan yang dibuat maka seharusnya Kejaksaan berkoordinasi terlebih dahulu dengan Dewan Pers.
“Sebab, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, penilaian atas suatu karya jurnalistik, termasuk potensi pelanggarannya, merupakan kewenangan Dewan Pers,” kata Herik dalam keterangan resminya, dikutip Rabu (23/4/2025).
Kendati begitu, Herik menegaskan pihaknya mendukung upaya pemberantasan korupsi termasuk yang dilakukan Kejaksaan dalam mengungkapkan dugaan suap senilai Rp478,5 juta yang disebut mengalir ke Tian.
“Kami menilai hal ini memang seharusnya masuk dalam ranah pidana, dan aparat penegak hukum perlu menuntaskannya secara transparan dan akuntabel,” tegas Herik.
Lebih lanjut, kata Herik, pihaknya khawatir langkah yang dilakukan Kejaksaan dapat dicontoh atau disalahgunakan oleh pihak tertentu untuk menjerat jurnalis yang kritis terhadap kekuasaan.
“Ini akan menciptakan iklim ketakutan dan menghambat kemerdekaan pers,” kata dia.
Dengan begitu, Herik mengingatkan bahwa UU Pers telah mengatur mekanisme sengketa pemberitaan harus diselesaikan melalui mekanisme Dewan Pers, bukan langsung melalui proses pidana.
Kejagung menetapkan dua advokat yakni Marcella Santoso dan Junaedi Saibih, serta Direktur Pemberitaan Jak TV Tian Bahtiar sebagai tersangka perintangan perintangan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan.
Jaksa menuduh mereka bersekongkol dalam merintangi pengusutan kasus korupsi tata kelola niaga pada wilayah Izin Usaha Pertambangan PT Timah Tbk (TINS) periode 2015-2022 dan kasus dugaan korupsi izin impor gula periode 2015-2016 dengan tersangka eks Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong.
Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Abdul Qohar menyatakan, perkara ini merupakan pengembangan kasus suap atau gratifikasi putusan lepas pada tiga grup perusahaan dalam perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil atau minyak goreng dan turunannya, Januari-April 2022--di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat (Jakpus).
Qohar menyatakan Tian Bahtiar diminta Marcella dan Junaedi untuk membuat berita dan konten negatif yang menyudutkan Kejaksaan dalam menangani perkara tersebut, hal tersebut dilakukan dengan biaya sebesar Rp478,5 juta yang dibayarkan Marcella dan Junaedi kepada Tian.
(ain)
































