Dibandingkan dengan rasio yang diamati sepuluh tahun lalu, angka 2021 mencerminkan penurunan sekitar 2,1 poin persentase. Krisis pandemi COVID-19 memperburuk kondisi ini, yang mengakibatkan penurunan tajam menjadi 8,3% dari PDB pada 2020.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan), sumber utama pendapatan pajak, berkinerja di bawah potensinya. Pada 2021, PPh Badan dan PPN menyumbang sekitar 66% dari total pemungutan pajak, setara dengan sekitar 6% dari PDB.
Meskipun PPN dan PPh Badan lebih produktif daripada instrumen pajak lainnya, penerimaan yang dihasilkan dari PPN dan PPh Badan masih relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga struktural dan regional.
Hal ini dapat dikaitkan dengan kombinasi beberapa faktor, termasuk kepatuhan yang rendah, tarif pajak efektif yang relatif rendah, dan basis pajak yang sempit.
Estimasi yang ada menunjukkan bahwa efisiensi pemungutan pajak Indonesia lebih rendah daripada negara-negara tetangga dan kesenjangan pajak (pendapatan yang hilang) meningkat.
Analisis batas Stokastik atau Stochastic Frontier Analysis (SFA) menunjukkan bahwa efisiensi pemungutan pajak Indonesia lebih rendah daripada negara-negara tetangga dan kesenjangan pajak meningkat. Skor efisiensi Indonesia, yang dirata-ratakan sejak 2015, termasuk yang terendah dalam sampel negara-negara berpenghasilan menengah yang dipilih dan telah menurun dari waktu ke waktu.
Namun, analisis ini hanya memberikan perkiraan kesenjangan pajak Indonesia menggunakan pendekatan lintas negara. Analisis ini tidak memberikan analisis berdasarkan jenis pajak atau jenis kesenjangan (kepatuhan atau kesenjangan kebijakan).
Bank Dunia mengamini pemerintah telah mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan pengumpulan penerimaan pajak melalui pengesahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Pajak (HPP) pada Oktober 2021.
Meskipun ada upaya-upaya ini, pengumpulan pajak di Indonesia masih menghadapi tantangan dan perlu ditingkatkan lebih lanjut.
Realisasi pendapatan negara sampai Februari 2025 tercatat sebesar Rp316,9 triliun. Angka ini merosot Rp83,46 triliun atau 20,84% dibanding pendapatan negara pada periode yang sama tahun lalu, tepatnya Februari 2024 yang mencapai Rp400,36 triliun.
Sri Mulyani menyebutkan realisasi pendapatan negara terdiri dari penerimaan perpajakan sebesar Rp240,4 triliun, menyusut Rp79,6 triliun atau 24,8% dibanding penerimaan perpajakan pada periode yang sama tahun lalu Rp320 triliun.
"Penerimaan perpajakan ini termasuk penerimaan pajak pada Februari 2025 yang sebesar Rp187,8 triliun," sebut Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN Kinerja dan Fakta Periode Februari 2025, Kamis (13/3/2025).
Angka penerimaan pajak merosot hingga Rp81,22 triliun atau 30,19% dibanding realisasi penerimaan pajak pada Februari 2024 sebesar Rp269,02 triliun. Sementara itu, realisasi penerimaan bea dan cukai Rp52,6 triliun, atau melemah tipis 2,13% dari Rp51,5 triliun.
"Kemudian, realisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp76,4 triliun," ujar Sri Mulyani.
(dov/roy)































