Pada kesempatan yang sama, Bahlil mengklarifikasi metode blending atau yang diartikan sebagai oplosan di kilang minyak adalah hal yang diperbolehkan, selama kualitas dan spesifikasinya setara. Namun, metode ini tidak akan digunakan untuk BBM dengan RON tinggi seperti Pertama Turbo RON 98.
“Kalau itu beda lagi, itu kan ada RON 90, RON 92, 95, sampai 98. Ya bagus-bagus ini tidak mungkin dicampur, karena itu ada speknya kok. Tidak perlu khawatir,” tuturnya.
Simpang-siur dugaan pengoplosan Pertamax RON 92 dengan Pertalite RON 90 sebelumnya mencuat di tengah perkembangan kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di lingkungan subholding Pertamina.
Kasus yang disinyalir merugikan negara senilai Rp193,7 triliun itu telah menyeret 4 petinggi subholding Pertamina dan 3 broker sebagai tersangka.
Dalam pernyataan resminya, Pertamina menegaskan tidak melakuakn pengoplosan BBM Pertamax dan memastikan kualitas Pertamax sudah sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan pemerintah yakni RON 92.
“Produk yang masuk ke terminal BBM Pertamina merupakan produk jadi yang sesuai dengan RON masing-masing, Pertalite memiliki RON 90 dan Pertamax memiliki RON 92. Spesifikasi yang disalurkan ke masyarakat dari awal penerimaan produk di terminal Pertamina telah sesuai dengan ketentuan pemerintah,” ujar Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga Heppy Wulansari, Selasa (25/2/2025).
Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Harli Siregar mengklarifikasi dugaan Pertamax RON 92 yang tidak sesuai spesifikasi tersebut merupakan fakta hukum yang ditemukan tim penyidik Kejagung hanya pada periode 2018—2023, bukan sampai dengan saat ini atau 2025.
“Terkait dengan ada isu oplosan, blending [bahan bakar minyak/BBM Pertamina], dan lain sebagainya; jadi penegasan yang pertama, saya sampaikan bahwa penyidikan ini kan dilakukan dalam tempo 2018—2023. Artinya ini sudah 2 tahun yang lalu,” ujarnya kepada awak media, Rabu (26/2/2025) pagi.
Harli menggarisbawahi temuan Kejagung terkait dengan ketidaksesuaian RON terhadap BBM Pertamina merupakan fakta hukum yang dikumpulkan oleh tim penyidik pada rentang 2018—2023.
“Benar bahwa ada fakta hukum yang diperoleh penyidik bahwa PT Pertamina Patra Niaga melakukan pembayaran dengan nilai RON 92, padahal di dalam kontrak, itu di bawah RON 92. Katakanlah RON 88. Artinya, barang yang datang tidak sesuai dengan price list yang dibayar.”
Menurut Harli, temuan fakta hukum ihwal RON BBM Pertamina tersebut sudah selesai dua tahun lalu. Dengan kata lain, produk Pertamax yang bermasalah sudah habis terserap atau terkonsumsi oleh masyarakat pada periode tersebut.
Bukan berarti, ujarnya, Pertamax dengan RON tidak sesuai ketentuan yang dipersoalkan oleh Kejagung tersebut masih beredar hingga saat ini.
“Fakta hukumnya ini pada 2018—2023, dan ini sudah selesai. Minyak ini barang habis pakai. Jadi kalau dikatakan stok 2023 itu enggak ada lagi. Ya kan,” ujarnya.
(wdh)































