Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas Nasional (Aspermigas) Moshe Rizal mengatakan Indonesia terlambat membenahi tata kelola hulu minyak dan gas bumi (migas), yang seharusnya sudah dilakukan sejak 10 tahun lalu, tecermin dari tata kelola investasi Blok Masela.
“Kalau waktu itu enggak ada isu onshore-offshore [dalam pengelolaan gas di Blok Masela], kita sudah bisa produksi sekarang, sudah menikmati untung. Mungkin kita juga sudah ikut bantu suplai gas ke Eropa. Jadi itu missed semua akhirnya,” ujarnya, Senin (6/1/2025).
Menurut Moshe, proyek Lapangan Abadi Masela—yang diestimasikan memiliki puncak produksi sebesar 9,5 juta ton LNG per tahun (MTPA) dan gas pipa 150 MMSCFD, serta 35.000 barel kondensat per hari (BCPD) — mengalami keterlambatan produksi akibat kepentingan politis. Proyek tersebut kini ditargetkan onshore pada 1 Januari 2030.
“Itu diganggu banget. Nah, itu yang kita sayangkan sekali. Jadi enggak ada itu namanya onshore-offshore. Itu cuma hanya dijadikan alasan saja. Nah hal-hal seperti itu jangan sampai terjadi lagi,” tuturnya.
Sekadar catatan, rencana pengembangan atau plan of development (PoD) Blok Masela sebenarnya sudah ditandatangani hampir 10—15 tahun lalu.
Namun, operasionalnya justru terhambat karena adanya usulan peralihan perencanaan untuk Blok Masela dari proyek offshore menjadi onshore.
Operasional padahal bisa langsung dilakukan setelah penandatanganan PoD, tetapi justru terhambat karena adanya intervensi dari pemerintah.
Intervensi yang dilakukan oleh pemerintah dalam peralihan perencanaan dari offshore menjadi onshore, lanjut Moshe, membuat Shell Upstream Overseas Ltd (SUOS) hengkang dari Blok Masela. Inpex Masela Limited pun enggan mengakuisisi porsi Shell.
Selanjutnya, pemerintah dihadapkan dengan masalah untuk mencari pemegang hak partisipasi atau participating interest (PI) pengganti Shell, yang pada akhirnya resmi diambil alih oleh Pertamina dan Petronas pada 2023.
“[Kasus Blok Masela] ini preseden buat kita, karena investor akan melihat, wah ini di Indonesia kayak gini. Proyek besar bisa dimanipulasi, dipolitisasi. Sebenarnya enggak ada isu waktu itu,” kata Moshe.
“Sekarang pun Masela ke depannya justru menjadi proyek offshore. Kenapa? Karena memang itu salah satunya yang make sense. Shell sudah kabur, ya kan kerugian yang luar biasa, miliaran dolar hilang. Sayang sekali, itu pendapatan yang tidak bisa dikembalikan.”
Untuk diketahui, saat ini pemegang hak partisipasi atau participating interest (PI) Blok Masela adalah Inpex Masela Limited dengan porsi 65%, sedangkan sisanya –sebanyak 35%– akan dibagi antara Pertamina dengan target sebesar 20% dan Petronas 15%.
(ain)

































