Nikel dilego di US$15.668/ton di London Metal Exchange (LME) hari ini, terkoreksi 0,32% secara harian.

Ketentuan royalti nikel tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 26/2022 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Manusia.
Di dalamnya, royalti untuk bijih nikel ditetapkan sebesar 10% dari harga per ton, sedangkan bijih nikel kadar Ni <1,570 sebagai bahan baku industri kendaraan bermotor listrik berbasis baterai sebesar 2% dari harga per ton.
Adapun, untuk nikel olahan seperti nickel pig iron (NPI) sebesar 5% dari harga per ton; nickel matte, feronikel, nikel oksida, nikel hidroksida, nikel MHP, nikel HNC, nikel sulfida, dll sebesar 2%; dan logam nikel sebesar 1%.
Sementara itu, windfall profit untuk harga nickel matte >US$21.000 per ton dikenakan tarif sebesar 1% dari harga per ton.
Beban Lainnya
Selain kenaikan royalti, Meidy mengatakan, kebijakan pemerintah lain yang membuat pengusaha tambang nikel menjerit adalah penerapan pajak pertambahan nilai (PPN) 12%.
"Pada awal tahun kami dibuka dengan PPN 12% yang sangat berdampak kepada pertambangan. Alat berat itu masuk dalam barang mewah yang akhirnya harga alat berat itu sudah naik," ungkap Meidy.
Kebijakan lain yang dirasa memberatkan lainnya yakni implementasi mandatori biodiesel B40. Campuran solar dengan minyak olahan kelapa sawit 40% tersebut menyebabkan kenaikan biaya produksi bahan bakar.
Teranyar, kebijakan pemerintah terkait devisa hasil ekspor sumber daya alam (DHE SDA) sebesar 100% di perbankan domestik selama satu tahun per 1 Maret 2025 juga memberatkan pengusaha tambang.
“Ditambah lagi dengan DHE hasil ekspor 100% satu tahun. cost-nya makin bertambah,” ujarnya.
(wdh)