“Pelaku pasar terus berspekulasi tentang potensi pemangkasan kuota penambangan bijih nikel,” sebut Jeremy.
Dampak Sementara
Jika kabar pemangkasan benar-benar direalisasikan pemerintah, Bahana menilai produksi Indonesia tahun ini hanya akan mendukung harga untuk jangka pendek karena faktor dorongan biaya, sementara permintaan dari penggunaan produk akhir nikel masih lemah.
“Bahkan dengan rencana awal untuk memproduksi 246 juta ton pada 2025, premi bijih harus tetap ada karena permintaan yang ketat. Situasi ini masih menjadi spekulasi karena Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral [ESDM] masih terus melakukan proses evaluasi,” ucapnya.
Selain potensi pemangkasan produksi, pembatasan juga diterapkan pada beberapa RKAB perusahaan yang disetujui. Terjadi kebingungan karena beberapa RKAB pertambangan telah disetujui tetapi tidak diizinkan untuk produksi.
Menurut Bahana, sebanyak 292 kuota telah disetujui untuk 2025, tetapi hanya 207 kuota yang diizinkan untuk produksi, sementara sisanya tetap disetujui dan tidak diizinkan untuk produksi.
“Perbedaan ini menjelaskan mengapa kuota yang disetujui pada 2024 berjumlah 270 juta ton, sedangkan realisasinya hanya 215 juta ton, menurut ESDM,” papar Bahana.
Kekurangan tersebut kemungkinan besar disebabkan oleh kuota RKAB yang disetujui, tetapi tidak diizinkan untuk berproduksi. Bahana memandang ketidakpastian ini sebagai risiko penurunan, meskipun potensi kenaikan mungkin muncul dari pasokan bijih yang lebih ketat.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang diakses Jumat (17/1/2025) volume impor bijih nikel dan konsentrat (ore nickel and concentrates) dengan kode HS 26040000 dari Filipina pada November 2024 sebanyak 42,3 juta ton.
Dari jumlah tersebut, impor bijih nikel di Morowali tercatat mencapai 10,5 juta ton dan Weda 31,8 juta ton.
Selain itu, berdasarkan situs resmi International Energy Agency (IEA), 3 produsen nikel terbesar pada 2030 dari sisi pertambangan diramal Indonesia (62%), Filipina (8%), dan New Caledonia (6%). Sementara itu, dari sisi pemurnian atau smelter adalah Indonesia (44%), China (21%) dan Jepang (6%).
Di sisi lain, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menegaskan pemerintah sampai saat ini belum memiliki rencana untuk memangkas produksi bijih nikel tahun ini.
Bahlil menyebut Kementerian ESDM hanya ingin menjaga keseimbangan antara permintaan perusahaan terhadap RKAB dan kapasitas industri. Di sisi lain, kepentingan pengusaha nikel lokal tetap menjadi perhatian.
"Membuat RKAB itu kan berdasarkan kebutuhan, ya. Pemangkasan belum ada," tegasnya saat ditemui di kantornya, Jumat (17/1/2025).
Bahlil mencontohkan ketika perusahaan nikel mengajukan RKAB sebesar 20 juta ton untuk memenuhi kebutuhan pabriknya, Kementerian ESDM hanya akan memberi kuota sebesar 60% dari pengajuan tersebut. Sementara itu, sisanya atau 40% harus mengambil dari pengusaha lokal.
“Kalau tidak, gimana masyarakat lokal? Mau jual [nikel] ke mana?,” tutur Bahlil.
(mfd/wdh)































