Bloomberg Technoz, Jakarta - Ambisi Presiden Prabowo Subianto untuk memadamkan seluruh pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara dalam 15 tahun dianggap membutuhkan biaya yang besar dan menimbulkan dampak berlapis.
Wakil Kepala Sekretariat Just Energy Transition Partnership (JETP) Elrika Hamdi menilai negara tidak akan mampu untuk memenuhi pembiayaan target tersebut. Pun, ketika harus mencari pinjaman dana murah yang berasal dari bank dunia, Asian Development Bank (ADB), hingga dana publik, pinjaman tersebut memiliki limitasi.
“Sebenarnya ada saja beberapa [lembaga keuangan] yang mengindikasikan interest untuk bisa membiayainya. Tapi kalau semuanya memakai commercial financing nggak akan jadi ekonominya, tak akan tercapai. Makanya harus ada dana murah,” kata Elrika di sela Ecofest 2024 oleh Bloomberg Technoz, dikutip Sabtu (30/11/2024).
Di sisi lain, pemerintah juga perlu memikirkan dampak terhadap PT Perusahaan Listrik Negara atau PLN (Persero) sebagai pemilik kapasitas jaringan listrik. Dia mencontohkan, jika 1 Gigawatt (GW) yang ada di PLTU harus bisa diganti dari pembangkit energi terbarukan lainnya. Tak hanya itu, pemilik aset PLTU juga terdampak. Pasalnya, PLTU itu masa pakainya masih 30-40 tahun kemudian. Namun, harus ditutup lebih cepat sehingga menimbulkan adanya penyusutan.
“Apakah pengganti tersebut bisa sama murahnya sama yang biasa mereka dapatkan dari si PLTU? Bisa kompetitif nggak harganya sama PLTU? Karena kita ngomongin baseload ya, kita bukan ngomongin renewable. Jadi untuk bisa mendapatkan baseload menggantikan 1 GW itu nggak mudah,” tutur Elrika.
Elrika menegaskan penutupan satu PLTU saja menjadi perkara yang tidak mudah, ditambah harus menutup ratusan PLTU seperti yang diinginkan Prabowo. Menurut catatan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Indonesia memiliki 253 PLTU yang beroperasi di dalam negeri.
“Menutup [PLTU] satu saja sulit banget dan dampak terhadap biaya kapasitas jaringan listrik maupun replacement cost-nya itu gede. Bayangkan kalau nutupnya semua [PLTU]. Jadi memang bukan perkara mudah, ya. Apakah financing-nya ada? Apakah financing-nya cukup ekonomis?,” tutur Elrika.
Secara terpisah, Penasihat Khusus Presiden Urusan Energi Purnomo Yusgiantoro berpendapat suntik mati PLTU harus dimulai dari fasilitas yang dimiliki oleh PT PLN. Purnomo mengatakan 60% dari sekitar 253 PLTU batu bara di Indonesia dioperasikan oleh PLN.
“Nah, yang pasti bisa dilakukan dahulu sekarang itu adalah PLN. Atau IPP [independent power producer/pembangkit swasta], yang dia itu swasta tapi kontraknya sudah habis. Itu bisa,” ujarnya di sela agenda Ecofest 2024 oleh Bloomberg Technoz.
Purnomo tidak menampik kendala pendanaan masih menjadi isu pemadaman PLTU batu bara di Indonesia. Jika tidak ada bantuan pendanaan, dia memperkirakan RI hanya bisa memadamkan sekitar 31% pembangkit batu baranya.
“Namun, kalau ada bantuan pendanaan luar, itu 41% bisa drop. Karena itu, yang ditutup PLTU-nya PLN dahulu, yang paling gampang kan dan yang paling enak PLN dahulu. Betul tidak? Lalu digantikan dengan energi terbarukan yang sudah siap. Kuncinya di pendanaan.”
Presiden Prabowo Subianto sebelumnya menyatakan janji untuk mengonversi seluruh PLTU berbasis batu bara di Indonesia ke energi baru terbarukan (EBT) dalam 15 tahun ke depan.
Pernyataan itu diutarakan di sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Brasil pekan ini, pada sesi yang mengangkat tema Sustainable Development and Energy Transition.
“Kami juga memiliki sumber daya panas bumi yang luar biasa, dan kami berencana untuk menghentikan pembangkit listrik tenaga batu bara dan semua pembangkit listrik tenaga fosil dalam 15 tahun ke depan. Kami berencana untuk membangun lebih dari 75 gigawatt tenaga terbarukan dalam 15 tahun ke depan,” tegasnya dikutip dari laman Sekretariat Presiden, Kamis (21/11/2024).
Bagaimanapun, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara menyebut sejauh ini belum ada daftar konkret dari pemerintah ihwal PLTU yang akan dipensiunkan, selain Cirebon-1 dan Pelabuhan Ratu.
Menurut catatan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), padahal, terdapat sebanyak 253 PLTU yang beroperasi di Tanah Air per 2023. Untuk itu, Bhima menilai komitmen transisi energi pemerintah masih belum terlalu realistis.
“Kalau pemerintah memang serius melakukan transisi energi, maka upayakan untuk mematikan PLTU batu bara dan mencegah izin pembangunan PLTU. Hal itu harus dilakukan dengan jelas, sehingga semua pihak bisa melihat tenggat dan progresnya,” ujarnya.
Bhima menggarisbawahi, saat ini saja, masih banyak kawasan industri yang menggunakan PLTU captive dengan kapasitas diperkirakan menembus 17,1 gigawatt (GW) hingga akhir 2024.
Di sisi lain, menurutnya, belum ada tanda-tanda pemerintah akan merevisi Peraturan Presiden (Perpres) No. 112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, sebagai payung hukum dari pembangunan PLTU di kawasan industri.
Sekadar catatan, perpres tersebut masih melibatkan PLTU sebagai salah satu pembangkit yang boleh dibangun dan terintegrasi dengan industri nasional. Dengan kata lain, Indonesia masih membolehkan penggunaan batu bara dalam misi transisi energi, yang dinilai berseberangan dengan komitmen Just Energy Transition Partnership (JETP).
“Selain itu, PT PLN [Persero] masih menjaga umur PLTU batu bara on grid lebih panjang dengan melakukan co-firing biomassa. Kementerian teknis—seperti Kementerian Keuangan dan ESDM — bahkan menghindari pemensiunan PLTU batu bara dengan alasan memicu kerugian negara,” tegas Bhima.
Dia juga menggarisbawahi beberapa PLTU on grid bahkan baru saja beroperasi dan dibangun seperti PLTU Cirebon-2. “Jadi belum ada aksi nyata dari pemerintah dan PLN [untuk benar-benar menekan batu bara dalam bauran energi primer nasional].”
(mfd/lav)