Logo Bloomberg Technoz

Namun, apakah benar Amerika bisa benar-benar gagal bayar utang? Juga, pernahkah dalam catatan sejarah Amerika benar-benar gagal membayar utang alias ngemplang?

“Konstitusi AS membuat gagal bayar utang menjadi tidak mungkin. Itu berisiko menimbulkan rasa puas diri di antara politisi AS tentang bahayanya bagi pasar dan perekonomian bila terjadi kebuntuan debt ceiling,” tulis Desmon Lachman, Senior Fellow American Enterprise Institute, mantan Deputi Direktur IMF dan Chief Emerging Market Economics Strategist di Solomon Smith Barney, seperti dilansir oleh situs The Hill pada 8 Maret 2023 lalu.

Inti ide adalah bahwa Amandemen Konsitusi US ke-14 menyatakan dengan tegas bahwa “Validitas utang publik AS disahkan oleh Undang-Undang… tidak akan dipertanyakan.”

Jadi, ketika pagu utang dilanggar, pemerintah AS akan dipaksa memprioritaskan pembayaran utang daripada pengeluaran rutin supaya terhindar dari gagal bayar utang alias default.

Isu rutin

Bila ingatan publik masih panjang, isu debt ceiling persis seperti hari ini pernah begitu heboh pada 2021 lalu. Tahun-tahun sebelumnya pun isu seperti ini terus berulang seperti ritual tahunan. 

Yang paling heboh terjadi pada 2011, saat pertikaian isu debt ceiling itu telah menyeret pasar keuangan Amerika ketika itu. Pada akhirnya menyeret pasar global akibat tarik menarik politik dalam menyepakati pagu utang yang berlarut-larut. Keriuhan itu menimbulkan ketidakpastian global.

“Ini seperti ritual politik tahunan di mana dua belah pihak baik Partai Demokrat maupun Republik saling tarik ulur dalam negosiasi politik untuk memajukan agenda politik mereka masing-masing,” komentar Lionel Prayadi, Macro Strategist Samuel Sekuritas.

Amerika pernah gagal bayar utang

Sejak tahun 1866, ketika Amandemen ke-14 diadopsi, pemerintah AS tercatat pernah gagal membayar utang sebanyak tiga kali, menurut catatan Lachman.

Kasus default atau gagal bayar utang paling menghebohkan terjadi pada 1933, saat Presiden AS Franklin Roosevelt mengeluarkan Amerika dari standar emas.

Selama masa depresi hebat, Gedung Putih, Kongres AS dan Mahkamah Agung sepakat untuk menghapus sekitar 40% utang swasta dan publik Amerika, demikian diceritakan oleh Lachman.

Keputusan itu ditempuh dengan gampang, yaitu menolak menebus obligasi emas menjadi koin emas. Sebaliknya, pemerintah melunasi kewajiban obligasi emas dengan mata uang yang sudah terdepresiasi.

Contoh lain kala Amerika “ngemplang” utang adalah terjadi pada Agustus 1972, saat Presiden Nixon untuk sementara menutup “gold window” sebagai bagian dari upaya mendapatkan kembali kendali atas inflasi. 

Dengan menutup “gold window”, pemerintah Amerika membatalkan komitmen finansial yang telah dibuatnya untuk seluruh dunia pada Konferensi Bretton Woods tahun 1944. Konferensi ini mengatur sistem moneter global pasca perang dunia berakhir.

Ilustrasi emas batangan. (Andreas Gebert/Bloomberg)

Di Bretton Woods, Amerika sebelumnya berjanji menebus semua dolar AS yang ditahan seharga US$35 per troy ounce emas.

Saat Nixon menolak membiarkan bank sentral asing menyerahkan dolar AS mereka untuk emas, ia secara efektif “gagal” memenuhi kewajiban jangka panjang AS untuk membuat dolar sebaik emas.

Contoh lain, kasus gagal bayar utang AS adalah pada 1968 walau lebih kecil nilainya. Yaitu saat pemerintah AS menolak menepati janji menebus sertifikat perak dolarnya dengan dolar perak.

Ketika sejumlah besar pemegang sertifikat perak itu menuntut dolar perak yang dijanjikan, pemerintah AS memutuskan tidak membayarnya.

Risiko-risiko yang menyertai polemik seputar pagu utang dan ancaman gagal bayar itu, demikian jelas Lachman, menjelaskan mengapa lembaga pemeringkat kredit Standard and Poor’s memilih menghapus peringkat triple A untuk US Treasury, sehingga membuat biaya pinjaman pemerintah Amerika jadi makin mahal.

Menurut Lachman, dalam isu pagu utang 2023 ini bukan tidak mungkin AS akan mencetak sejarah lagi dengan gagal membayar utang. 

(rui/wep)

No more pages