Bloomberg Technoz, Jakarta - Pasar modal Indonesia masih tutup hari ini, Selasa (18/6/2024), memperingati Hari Raya Iduladha dan cuti bersama. Pasar akan kembali dibuka esok hari, Rabu (19/6/2024). Ini sekaligus menjadi pembukaan pasar pertama setelah terjadi kejatuhan nilai tukar, harga saham dan surat utang di ujung pekan lalu.
Menilik dinamika pasar global dan regional dua hari ini, terlihat bahwa sempat ada tekanan yang berlanjut di pasar saham maupun surat utang juga pelemahan nilai valuta Asia menghadapi dolar Amerika Serikat (AS). Namun, pada perdagangan hari ini, reli pasar saham di Wall Street yang memecah rekor baru sepertinya memberikan daya ungkit bagi pasar saham Asia yang berdampak juga pada pergerakan mayoritas valuta yang menguat meski dolar AS masih bertahan di level tinggi di 105,40.
Bagi pasar modal Indonesia, bila berkaca pada apa yang terjadi pada libur panjang long weekend sebelumnya, biasanya pasar akan mengejar lebih dulu ketertinggalan dua hari ini. Namun, ada potensi kebangkitan bila menilik posisi selisih imbal hasil surat utang Indonesia dengan Amerika yang saat ini sudah termasuk tertinggi di Asia.
Lonjakan imbal hasil surat utang RI (SBN) tenor 10Y hingga 21 bps pada Jumat pekan lalu hingga kini berada di 7,200%, juga tenor 5Y yang naik 13,4 bps ke 7,042%, telah memperlebar jarak dengan tingkat imbal hasil Treasury, surat utang AS. Yield Treasury 10Y kini ada di 4,267%. Alhasil, selisih imbal hasil alias yield spread Indonesia dengan Amerika kini semakin melebar menjadi hampir 300 bps.
Level itu membuat yield spread surat utang RI menjadi yang terlebar di antara negara-negara Asia lain. Dengan India misalnya, yang selama ini memiliki yield spread terlebar, Indonesia masih lebih unggul. Yield spread obligasi India dengan Treasury saat ini ada di 272 bps. Sedangkan yield spread Filipina juga lebih rendah di 238 bps.
Semakin lebar yield spread, akan lebih menarik bagi pemodal asing karena perbedaan peringkat kredit dengan Amerika Serikat.

Yield spread surat utang RI hanya kalah dengan emerging market Amerika Latin seperti Meksiko yang saat ini mencatat yield spread 593 bps, lalu Kolombia 669 bps. Sedangkan dengan Brazil dan Peru yang memiliki selisih imbal hasil 226 bps dan 282 bps, Indonesia masih lebih lebar saat ini.
Dengan selisih imbal hasil yang semakin lebar, ada potensi pemodal asing yang kemarin sudah beramai-ramai hengkang akan kembali datang, terutama bila harga aset dinilai sudah menyentuh bottom-nya.
Namun, penting untuk dicatat bahwa yield spread yang lebar bukanlah satu faktor saja yang menjadi pertimbangan. Investor juga akan mengukur ekspektasi inflasi dan prospek bunga acuan ke depan untuk memperhitungkan tingkat bunga riil sebuah aset.
Bank Indonesia akan menggelar Rapat Dewan Gubernur mulai esok Rabu sampai Kamis nanti. Konsensus analis yang dihimpun oleh Bloomberg sejauh ini masih menghasilkan konsensus 'tahan' untuk BI rate di level 6,25%.
Analisis Maybank Singapura melihat, ketidakpastian terkait prospek fiskal Indonesia sepertinya masih akan bertahan kendati menurut mereka aksi jual belakangan di pasar valuta dan surat utang sudah terlalu parah.
"Apabila hal ini terjadi [rencana menaikkan rasio defisit hingga 50%], maka itu merupakan kebijakan fiskal yang cukup ekspansif dan batas defisit anggaran sebesar 3% kemungkinan besar akan berisiko," komentar Winson Phoon, Head of Fixed Income Maybank di Singapura, dilansir dari Bloomberg.
Bila rasio utang digeber hingga 50%, maka defisit anggaran RI diperhitungkan bisa semakin melonjak mencapai 4,5%-5% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
"Dengan memperhitungkan peningkatan risiko fiskal ke depan, kami pikir masuk akal bila pasar menetapkan premi risiko yang lebih besar pada valuta asing dan obligasi, meskipun aksi jual pada Jumat lalu tampak agak berlebihan seiring dengan laju koreksi," jelas Phoon.
Maybank mempertahankan rekomendasi 'neutral' untuk surat utang pemerintah RI karena pasar kemungkinan masih akan waspada terhadap risiko sampai ada kejelasan mengenai kehati-hatian fiskal ke depan.
Maybank memperkirakan BI masih akan mempertahankan lagi BI rate di 6,25%. "Namun, keseimbangan risiko mungkin bergerak ke 'kenaikan' bila rupiah semakin melemah ke Rp16.600-Rp16.750/US$ jelang pertemuan BI," imbuhnya.
Risiko investasi naik
Risiko berinvestasi di Indonesia saat ini terbilang tinggi terutama karena kekhawatiran para pemodal terhadap prospek kebijakan fiskal di pemerintahan baru nanti di bawah Presiden terpilih Prabowo Subianto yang akan resmi dilantik Oktober.
Premi Credit Default Swap (CDS) 5 tahun Indonesia Senin kemarin melonjak tajam hingga 4,06% dalam sehari menyentuh 78,416. Itu adalah level premi risiko tertinggi sejak 26 April ketika rupiah pertama kali terguncang menjebol level Rp16.000/US$ usai libur Lebaran berakhir.
Kenaikan premi risiko berarti para investor meminta premium lebih besar untuk berinvestasi di Indonesia karena risiko investasi dinilai besar.
Hengkang ke India dan Malaysia
Para pemodal asing banyak melepas kepemilikan surat utang rupiah mereka ketika sentimen pasar global memburuk ditambah kekhawatiran akan masa depan fiskal Indonesia di bawah pemerintahan baru Prabowo Subianto yang akan diresmikan Oktober nanti.
Para pemodal asing tercatat menjual surat utang RI (SBN) sebesar US$49,6 juta atau sekitar Rp812,15 miliar dengan kurs saat ini, pada 12 Juni lalu, mengacu pada data yang dilansir oleh Kementerian Keuangan terakhir.
Nilai penjualan SBN oleh investor asing itu menjadi yang terbesar sejak 15 Mei, berdasarkan data historis yang dikompilasi oleh Bloomberg.
Sementara pada 14 Juni atau Jumat pekan lalu ketika tekanan memuncak, asing juga mencatat penjualan bersih di saham sebesar US$44,4 juta, sekitar Rp727 miliar, ketika IHSG menjebol level psikologis terlemah dalam delapan bulan di 6.734,83 pada Jumat.
Sedangkan imbal hasil SBN juga melesat tinggi tertekan aksi jual di mana SBN acuan 10 tahun saat ini sudah menyentuh 7,200%, naik 16 bps dalam sehari, level yield tertinggi sejak April lalu. Sedangkan SBN tenor 5Y naik 13,4 bps menyentuh 7,042%.
Dana para pemodal global yang hengkang dari pasar Indonesia itu beralih memburu saham dan obligasi di negara Asia lain seperti India, Malaysia, Taiwan serta Korea Selatan.
Mengacu data Bloomberg, pada 13 Juni lalu, pemodal asing memborong obligasi negara pemerintah India senilai US$114,8 juta, sekitar Rp1,87 triliun dengan kurs dolar AS saat ini.
Asing juga berburu saham dari bursa India dengan nilai pembelian bersih mencapai US$331,6 juta pada tanggal yang sama. Ini menjadi reli pembelian oleh asing di saham-saham India dalam lima hari berturut-turut.
Pemodal asing juga memborong saham di bursa Malaysia pada 13 Juni lalu senilai US$41,9 juta. Serta berburu saham di Taiwan dengan nilai fantastis mencapai US$711,5 juta.
-- update pada komentar analis mulai paragraf ke-10.
(rui/frg)