Logo Bloomberg Technoz

Namun, asosiasi belum mengetahui dengan pasti kebijakan ESG ke depannya. Terlebih, Indonesia saat ini tengah bersiap untuk perubahan pemerintahan, sehingga segala kebijakan ESG bergantung kepada pemerintahan baru yang akan memimpin pada 2024—2029.

“Kita tunggu nanti di Presiden baru, menteri baru, regulasi dan programnya apa saya tidak bisa jawab. Namanya Presiden baru, sudah tahu kan Indonesia namanya pemerintah baru, pasti akan ada aturan dan program baru,” ujarnya.  

Indonesia raja nikel dunia./dok. Bloomberg

Biaya Produksi Nikel Hijau

Kendati demikian, Meidy tidak menampik memang terdapat perbandingan biaya produksi untuk menghasilkan nikel hijau dibandingkan dengan nikel biasa dengan skema business as usual (BAU), di mana nikel yang diproduksi RI lebih kompetitif dari nikel hijau atau nikel premium yang banyak dihasilkan negara Barat.

Namun, dirinya tidak bisa memberikan kalkulasi nilai dengan lengkap perihal perbandingan biaya produksi kedua nikel tersebut, karena hal itu bergantung pada jenis teknologi yang akan digunakan. 

Terlebih, setiap wilayah memiliki biaya produksi yang berbeda tergantung dengan kondisi yang ada, salah satunya tergantung masyarakat di daerah tambang nikel.

“[Biaya produksi] rata-rata seluruh tambang US$25 di luar royalti 10% bayar ke negara, NPI [nickel pig iron] average US$9.000-US$10.000 per ton di Indonesia,” ujarnya.

“Kalau proses nikel hijau, tergantung cost environmental berapa, bagaimana melakukan teknologi baru hijau itu cost berapa, tidak bisa average karena teknologi dan wilayah berbeda-beda."

Dilansir melalui situs Easy Skill, ‘nikel hijau’ atau kadang juga disebut sebagai nikel berkelanjutan (sustainable nickel), diproduksi dengan menerapkan praktik penambangan yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan, seperti penggunaan energi terbarukan untuk menggantikan pembangkit listrik tenaga batu bara atau minyak, pengurangan dan pengolahan limbah khususnya dalam proses hidrometalurgi dan remediasi air.

Adapun, tambang ‘nikel hijau’ berkomitmen untuk bekerja sama dengan masyarakat lokal dalam isu-isu sosial. Tujuan mereka adalah untuk memastikan bahwa kegiatan pertambangan memberikan manfaat bagi masyarakat melalui kesempatan kerja, pelatihan, dan pengembangan keterampilan.

Sayangnya, nikel jenis ini masih sulit mendapatkan harga premium di pasar lantaran ongkos produksinya tidak efisien jika dibandingkan dengan nikel-nikel yang diproduksi di Indonesia.

Suasana perdagangan di London Metal Exchange (LME)./Bloomberg-Luke MacGregor

Di tengah desakan banyak penambang global untuk ‘memerangi’ dominasi nikel murah dari Indonesia dan China, London Metal Exchange (LME) memberi sinyal bahwa pasar nikel premium ramah lingkungan atau green nickel masih belum sanggup menyaingi produksi dari RI.

Dalam catatan atau notice yang diterbitkan belum lama ini, LME menegaskan pasar ‘nikel hijau’ saat ini masih terlalu kecil untuk bisa menggaransi kontrak berjangka mereka sendiri.

Dengan kata lain, pernyataan LME ini akan menjadi pukulan telak bagi para korporasi tambang mineral global yang sedang berharap mendapatkan harga premium bagi logam nikel yang mereka produksi dengan sistem ramah lingkungan.

“LME yakin pasar ‘nikel hijau’belum cukup besar untuk mendukung semangat memperdagangkan kontrak berjangka hijau khusus. Pelaku pasar telah menyatakan kekhawatirannya akan hal itu dan masih terdapat perdebatan pasar yang signifikan mengenai bagaimana mendefinisikan ‘hijau’,” papar bursa logam barometer dunia itu, dikutip Kamis (7/3/2024).

Sebelumnya, orang terkaya di Australia, Andrew Forrest, mendesak LME untuk membedakan klasifikasi antara nikel "kotor" dan "bersih" dalam perdagangan logamnya. Pernyataan tersebut dibuat setelah bisnis logam pribadinya mengumumkan penutupan tambang baru-baru ini.

Forrest mengatakan kepada wartawan di Canberra pada Senin (26/2/2024) bahwa LME harus mengklasifikasikan nikel berdasarkan emisi karbon. Dengan demikian, pelanggan dapat membuat pilihan mengenai produk yang mereka transaksikan.

Dia menambahkan, beberapa perusahaan menggunakan baterai dari nikel murah yang ditambang di Indonesia, yang dikenal dengan jejak emisi tinggi dan standar lingkungan yang dipertanyakan.

"Anda ingin punya pilihan untuk membeli nikel bersih jika Anda bisa," kata Forrest. "Jadi, LME harus membedakan mana yang kotor dan yang bersih. Keduanya adalah produk yang berbeda, dan memiliki dampak yang sangat berbeda."

(wdh)

No more pages