Logo Bloomberg Technoz

"BI tampak kukuh dalam misinya menyerap likuiditas lebih lanjut dengan membiarkan BI rate dan GWM tetap tinggi sembari menjual surat utang yang dimilikinya," kata Satria Sambijantoro, Ekonom Bahana Sekuritas dalam risetnya.

Langkah BI itu tidak terlepas dari upaya bank sentral menghapus kelebihan likuiditas di sistem keuangan yang melonjak tinggi akibat pandemi Covid-19. Selama pandemi, BI menyuntikkan likuiditas ke sistem keuangan sekitar Rp1.200 triliun melalui pembelian surat utang pemerintah di pasar primer dan sekunder.

Sebagai perbandingan, sebelum pandemi, kepemilikan BI di surat berharga negara (SBN) gross hanya Rp273,21 triliun pada 2019. Angkanya berlipat-lipat setahun kemudian dan terakhir pada 2022 posisinya mencapai di Rp1.453,58 triliun. Sampai 10 Januari lalu, posisi kepemilikan SBN oleh BI masih sebesar Rp1.364 triliun termasuk sebesar Rp400,15 triliun yang digunakan untuk operasi moneter.

Untuk menyedot excess liquidity di pasar, BI berkukuh mempertahankan kebijakan moneter ketat. Pada saat yang sama demi menarik modal asing masuk agar rupiah mendapat sokongan, bank sentral menggelar operasi moneter melalui tiga instrumen moneter baru yang memberi bunga tinggi yaitu Sertifikat Rupiah (SRBI), Sertifikat Valas (SVBI) dan Sukuk Valas (SUVBI). SRBI sudah diterbitkan sebesar Rp296,03 triliun, sementara SVBI mencapai US$896,5 juta dan SUVBI sebesar US$ 244 juta, sampai 16 Januari lalu.

Kehadiran tiga instrumen baru itu memicu apa yang dinamakan crowding out di mana terjadi perebutan likuditas antara bank sentral, kementerian keuangan dan perbankan dan pada akhirnya membatasi fleksibilitas kebijakan bunga BI dalam jangka panjang. 

Situasi keketatan likuiditas ini kemungkinan masih akan berlanjut setidaknya hingga nilai tukar rupiah bisa kembali menguat dan stabil di kisaran Rp15.000/US$, menurut ekonom. Atau bila, "Terjadi krisis likuiditas saat beberapa bank menghadapi masalah likuiditas," lanjut Satria.

DPK bank pada November hanya tumbuh 3,8% pada November, sedang angka Desember tidak dipublikasikan oleh bank sentral dalam pengumuman hasil Rapat Dewan Gubernur, Rabu lalu. Sementara industri pengelolaan dana mencatat penurunan dana kelolaan reksa dana yang anjlok sedikitnya Rp15 triliun dalam enam bulan terakhir.

"Penurunan itu akibat ketatnya persaingan dengan Surat Berharga Negara (SBN), SRBI, juga deposito bank serta produk investasi luar negeri yang semuanya menawarkan kenaikan bunga," jelas Satria.

Sebagai informasi, tingkat imbal hasil SBN 10 tahun di pasar saat ini masih bertahan di 6,68%, sedangkan SRBI tenor 12 bulan lebih tinggi di 6,86% per lelang terakhir 12 Januari lalu. Bunga perbankan di konter (counter rate) memang masih rendah, namun untuk bunga spesial yang biasanya ditawarkan pada nasabah-nasabah korporasi berdana besar sudah banyak yang menawarkan bunga di atas 6% untuk tenor 12 bulan. 

"Bank-bank besar BUKU-4 dan BUKU-3 dilaporkan telah menawarkan suku bunga lebih dari 6% untuk deposito berjangka 1 tahun kepada klien kami yang mengelola dana pasar uang," kata Satria.

Dalam pernyataan awal Desember lalu, Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Purbaya Yudhi Sadewa menyatakan kondisi likuiditas perbankan tengah dalam situasi sulit dan membutuhkan perbaikan. 

"Saya baru saja dengar komplain, likuiditas susah. Jadi ada kemungkinan alatnya ini mesti diperbaiki ke depan, sehingga saya bisa melihat betul kondisi perbankan kita," kata Purbaya.

Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo saat pengumuman Hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bulanan Bulan Januari 2024. (Bloomberg Tehnoz/Azura Yumna)

Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers Rabu lalu menepis dugaan adanya masalah pendanaan di sektor perbankan saat ini.

"Jangan melihat kemampuan funding [pendanaan] bank hanya dari dana pihak ketiga. Bila melihat sisi aset, bank memiliki surat-surat berharga dan komponen lain. Dalam komponen itu ada alat likuid, surat berharga yang sewaktu-waktu bisa dikonversikan menjadi likuiditas dan mendukung penyaluran kredit," jelas Perry.

Lebih lanjut, ia mengatakan, bank sentral sering berdiskusi dengan para bankir yang menyatakan sisi supply (likuditas) masih mendukung penyaluran kredit. "Likuiditas lebih dari cukup, lalu suku bunga masih rendah meski beberapa bank memang ada kenaikan bunga. Risk appetite, lending standard, terus membaik," jelas BI.

Kepemilikan perbankan di SBN memang melonjak pesat sejak pandemi mencapai Rp1.634 triliun, atau setara 29% dari total SBN di pasar sekunder. Kondisi likuiditas bank disebut oleh bank sentral masih sangat baik di mana rasio Alat Likuid terhadap DPK (AL/DPK) pada Desember sebesar 28,73%, sementara rasio kecukupan modal bank masih di level aman di 27,86%. Penerbitan SRBI dkk dinilai oleh BI memberikan fleksibilitas bagi bank dalam mengelola likuiditas.

Lebih dari itu, implementasi kebijakan insentif likuiditas (KLM) dan penyangga likuiditas (PLM), sejauh ini dinilai masih efektif mendorong penyaluran kredit ke sektor prioritas.

Catatan BI, sebanyak 120 bank memanfaatkan insentif tersebut dengan realisasi mencapai Rp164 triliun, terutama untuk penyaluran kredit di sektor UMKM, hilirisasi non-minerba, juga sektor perumahan. "Ini perkembangan menggembirakan karena insentif ini dimanfaatkan untuk sektor yang produktif," jelas Juda Agung, Deputi Gubernur BI.

Orkestrasi kebijakan BI itu menuai hasil di mana pada 2023 kredit mampu tumbuh 10,38%, mendekati batas atas target BI tahun lalu di 9%-11%. 

Kredit Melambat

Hasil Survei Permintaan dan Penawaran Pembiayaan Perbankan seri Desember yang baru dirilis oleh Bank Indonesia hari ini memperkirakan, penyaluran kredit perbankan akan kembali melambat pada Januari setelah mencatat sedikit ekspansi pada akhir tahun. 

Perlambatan penyaluran kredit pada Januari 2024 kebanyakan karena kontraksi pengucuran kredit investasi dengan nilai Saldo Bersih Tertimbang (SBT) -3,4% dari SBT 66,9% pada Desember. Sementara kredit modal kerja, dan kredit konsumsi serta kredit pemilikan rumah diprediksi masih akan meningkat pertumbuhannya bulan ini.

Semua kelompok bank diperkirakan mencatatkan penurunan penyaluran kredit dan pembiayaan baru terutama bank daerah yang mencatat SBT -15,3%. Sementara di kelompok bank umum juga turun tajam dari SBT 76,5% menjadi 12,2%, sedangkan bank umum syariah turun lebih kecil dari 100% menjadi 85,9%.

Para pelaku usaha diperkirakan masih lebih banyak memakai dana sendiri untuk memenuhi kebutuhan dana tiga bulan mendatang sehingga permintaan pembiayaan korporasi hingga tiga bulan ke depan yaitu hingga Maret diprediksi masih lambat.

Kebutuhan dana juga masih banyak yang ditutup memakai pinjaman dari induk usaha, dan pemanfaatan fasilitas kelonggaran tarik. Baru setelah itu pelaku usaha menimbang untuk mengajukan pinjaman tambahan ke perbankan dalam negeri.

Untuk 2024, BI memperkirakan pertumbuhan kredit perbankan di kisaran 10-13%. Lebih tinggi dibandingkan 2023 yang 9-11%.

Tidak hanya BI, pemerintah pun mendesak perbankan untuk lebih agresif dalam menyalurkan kredit. Belum lama ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meminta perbankan untuk tidak mengerem kredit.

"Konsumsi kelompok menengah ke bawah harus kita lihat, terdampak kenaikan harga pangan jadi ini harus diperbaiki dari sisi inflasi dan kebijakan pangan. Investasi sudah tumbuh cukup baik namun belum setinggi yang kita harapkan, ini kita berharap kredit tidak direm," kata Sri Mulyani.

(rui/aji)

No more pages