Logo Bloomberg Technoz

Mirza menjelaskan, secara umum transisi menuju NZE memerlukan perubahan yang dapat dikategorikan ke dalam empat pilar. Pertama, peningkatan intensitas energi yang membantu mengurangi biaya transisi. Kedua, dekarbonisasi pembangkit listrik untuk mengurangi emisi langsung di sektor ketenagalistrikan.

Ketiga, peralihan ke bahan bakar rendah emisi pada penggunaan akhir dan penangkapan. Keempat, pemanfaatan dan penyimpanan karbon atau carbon capture, utilization and storage (CCUS) yang mengurangi emisi dari industri yang emisinya sulit dikurangi.

Sebelumnya, Indonesia menuai kritik dari berbagai lembaga lantaran dinilai memberikan ‘solusi palsu’ transisi energi. Pemerintah dinilai melakukan gimik untuk tetap melanggengkan penggunaan batu bara, tetapi dengan embel-embel lebih ‘ramah lingkungan’ alias clean coal.

Problem tersebut terungkap dalam publikasi dokumen Kertas Putih Masyarakat Sipil terhadap JETP di Indonesia yang diluncurkan oleh gabungan Organisasi Masyarakat Sipil seperti Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), lndonesian Center for Environmental Law (ICEL), Institute for Essential Services Reform (lESR), Center of Economic and Law Studies (Celios), dan Trend Asia.

Dokumen white paper tersebut menyebutkan bahwa berbagai solusi pemerintah dalam upaya menekan emisi karbon, justru masih menggunakan energi fosil.

"Transisi energi seharusnya meninggalkan energi fosil di belakang dan melompat ke masa depan energi bersih terbarukan. Namun demikian, berbagai teknologi dan solusi energi masih menahan kita dalam kepentingan energi fosil," tulis dokumen yang dilansir akhir Oktober itu. 

Mereka menilai, berbagai ‘solusi palsu’ yang kerap dipromosikan pemerintah tersebut meliputi penggunaan bioenergi berbasis kayu, penghiliran batu bara (gasifikasi), co-firing pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), hingga penerapan carbon capture and storage (CCS) atau CCUS.

"Berbagai bentuk ‘solusi palsu’ ini justru memperpanjang masa hidup energi fosil dan dampak negatifnya, mendorong perampasan dan ketimpangan penguasaan lahan, memperbesar kerusakan ekologi, dan menghilangkan sumber perekonomian masyarakat,” dokumen tersebut.

Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan  - yang saat ini sedang nonaktif untuk pemulihan kesehatan - pernah menegaskan dana kesepakatan iklim Indonesia senilai US$20 miliar (sekitar Rp306 triliun) melalui Just Energy Transition Partnership (JETP) belum cukup untuk mempercepat transisi energi di Tanah Air.

Menurut perhitungannya, kebutuhan anggaran untuk pemensiunan dini PLTU berbasis batu bara di Indonesia saja mencapai setidaknya US$100 miliar (sekitar Rp1,52 kuadriliun), belum termasuk proyek lainnya.

"Jika Anda melihat kembali, hasil [kesepakatan JETP di] G-20 senilai US$20 miliar. Namun kenyataannya, menurut saya, bisa [kebutuhan Indonesia] mencapai US$100 miliar. Ini dana yang perlu disiapkan," ujarnya dalam Bloomberg CEO Forum, awal September.

(wdh)

No more pages