Logo Bloomberg Technoz

“Akan dievaluasi sampai ke USTDA, apakah ini akan dilanjutkan menjadi project realization atau perlu kajian di tempat lain atau kajian lain lagi. Sekarang baru dapat lokasi, tetapi apakah lokasi itu cukup untuk SMR itu? Sumbernya seperti apa? Berapa besar yang dibutuhkan? Itu nanti akan diinformasikan dalam kajian ini,” terangnya.

Pengembangan reaktor modular kecil di berbagai negara./Sumber: IAEA diolah Bloomberg

Butuh Waktu Panjang

Edwin tidak menampik, dibutuhkan rentang waktu yang panjang bagi Indonesia untuk dapat merealisasikan pembangunan SMR lantaran masih banyak tahapan yang harus dilalui dalam proses pengembangannya.

Di Amerika Serikat saja, sambungnya, reaktor mini baru akan beroperasi pada 2028. Meskipun NuScale sudah memiliki sertifikasi untuk pengembangan SMR, perusahaan tersebut juga belum pernah merealisasikan pembangunannya.

Lebih lanjut, Edwin mengelaborasi studi pengembangan SMR di Indonesia dirancang untuk kapasitas 2x75 MW. “Jadi skalanya itu modularisasi 25, 50, 75, dan 100. Memang dalam perhitungan kami, lebih baik modular kecil jadi lebih terlingkup proteksinya, daripada modular besar.” 

Dia pun belum dapat memastikan apakah listrik yang dihasilkan oleh SMR itu nantinya hanya akan digunakan untuk mengaliri wilayah Kalimantan Barat saja atau dapat ditransmisikan sampai ke Jawa.

“Itulah yang diperlukan dalam studi ini. Apakah beban ini ditarik sepenuhnya ke Kalimantan atau ke Jawa? Hasil studinya nanti yang menentukan,” kata Edwin.

Negara-negara paling kaya sumber Uranium./Sumber: World Nuclear Association, diolah Bloomberg

Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengungkapkan saat ini pemerintah tengah mematangkan rencana pengembangan SMR di dalam negeri. Kemungkinan, rencana tersebut dapat dirampungkan setelah 2024 atau lebih cepat dari 2030, tergantung pada kebutuhan energi di dalam negeri.

“Kita harus balapan untuk bisa mengurangi emisi, karena takut pemberlakuan pajak karbon kita ketinggalan, barang kita tidak kompetitif,” terangnya.  

Ambisi Presiden Joko Widodo dalam PLTN di dalam negeri makin terlihat sejak tahun lalu, melalui penerbitan PP No. 52/2022 tentang Keselamatan dan Keamanan Pertambangaan Bahan Galian Nuklir.

Pada mukadimah Mei, Kepala Negara juga menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 25/2023 tentang Wilayah Pertambangan. Regulasi yang ditetapkan pada 5 Mei 2023 itu salah satunya mencakup mengenai pengaturan wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) mineral radioaktif, yang notabene bahan baku pembuatan sumber energi nuklir.

Sekadar catatan, satu PLTN dengan kapasitas 1.000 MW ditaksir membutuhkan 21 ton uranium untuk produksi listrik 1,5 tahun.

Menurut Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), per 2019, sumber daya uranium di Indonesia mencapai 81.090 ton dan sumber daya thorium sebanyak 140.411 ton yang berada di wilayah Kalimantan, Sumatra, dan Sulawesi.

Di Kalimantan, sumber daya uranium tercatat sebanyak 45.731 ton dan thorium 7.028 ton. Di Sumatra, uranium sebanyak 31.567 ton dan thorium 126.821 ton. Di Sulawesi, uranium sejumlah 3.793 ton dan thorium 6.562 ton. 

(wdh/evs)

No more pages