Di sisi lain, dia memprediksi, impor bijih nikel akan meningkat hingga 50 juta ton pada 2026 untuk menyeimbangkan kebutuhan smelter.
Arif menyebut, impor bijih nikel dari Filipina berpotensi menanjak jadi 30 juta ton pada 2026 dari tahun ini sebesar 15 juta ton.
Peningkatan Impor
Arif menjelaskan impor bijih nikel yang meningkat berpotensi menekan bisnis smelter di Tanah Air gegara biaya yang lebih tinggi dan skala impor yang terbatas.
Selain itu, tidak seluruh bijih nikel dapat diimpor untuk diolah di fasilitas pengolahan dan peleburan nikel di Indonesia.
Dengan demikian, dia memandang kebijakan pemangkasan produksi bijih nikel pada 2026 berpotensi mengurangi kapasitas smelter hingga 15–18%.
“Bijih impor sudah pasti lebih mahal, juga biaya transportasinya lebih jauh dan mahal,” tuturnya.
Arif menambahkan, pemangkasan produksi bijih nikel menjadi 250 juta ton pada tahun tak serta–merta mengurangi stok nikel di pasar global.
Alasannya, bijih nikel yang berasal dari impor akan menopang operasi smelter di Indonesia untuk tetap beroperasi.
Adapun, Badan Pusat Statistik (BPS) mendata impor bijih dan konsentrat nikel dari Filipina mencapai 12,01 juta ton sepanjang Januari—Oktober 2025.
Pada periode tersebut, impor nikel melalui pelabuhan Weda tercatat sebesar 9,5 juta ton. Kemudian, 2,11 juta ton impor nikel masuk ke Indonesia melalui pelabuhan Morowali.
Sisanya, 289.616 ton masuk ke Indonesia melalui pelabuhan Kolonodale. Lalu, 56.650 ton masuk melalui pelabuhan Samarinda dan 53.400 ton masuk melalui pelabuhan Kendari.
Tingginya permintaan bijih juga tidak lepas dari banyaknya investasi smelter baru dalam kurun 5 tahun terakhir. Hal tersebut juga memicu lonjakan eksploitasi nikel di dalam negeri.
Sebagai perbandingan, produksi bijih nikel Indonesia tahun 2019 hanya sekitar 52,76 juta ton, meningkat hampir empat kali lipat menjadi 240 juta ton pada 2024.
(azr/naw)
































