"Bahkan saat ini, kami terus berkomunikasi di berbagai tingkatan," kata Takaichi. "Saya akan mengambil tindakan yang tepat untuk melindungi kepentingan Jepang serta melindungi nyawa dan kehormatan rakyat kami, sambil terus melanjutkan komunikasi tersebut."
Tanggapan Takaichi mengenai China ini disampaikan setelah pidato akhir tahun yang komprehensif, yang sebagian besar berfokus pada isu ekonomi domestik—mulai dari kebijakan fiskal, rantai pasok, hingga lingkungan bisnis saat ini. Ia mengakui bahwa kebijakan tarif Amerika Serikat telah menambah tingkat ketidakpastian bagi para pemimpin bisnis di masa depan.
"Sangat penting untuk menciptakan prediktabilitas bagi dunia usaha guna mendorong investasi swasta," tambahnya.
Sang Perdana Menteri juga menekankan pentingnya menciptakan lingkungan bisnis di mana perusahaan dapat menaikkan upah secara memadai agar mampu melampaui inflasi. Meskipun upah nominal telah naik ke level historis bagi banyak pekerja dalam dua tahun terakhir, kenaikan gaji secara umum belum mampu mengimbangi biaya hidup. Upah riil tercatat turun selama sepuluh bulan berturut-turut hingga Oktober lalu.
Dalam sesi tanya jawab lainnya, Takaichi menyatakan harapannya untuk bisa bertemu dengan Presiden AS Donald Trump sesegera mungkin. Media lokal melaporkan bahwa pemerintahannya sedang menjajaki kemungkinan kunjungan ke AS pada bulan Maret mendatang. Hal ini dilakukan menyusul sikap diam pemerintah Trump terkait perselisihan Jepang-China baru-baru ini.
Takaichi menambahkan bahwa AS telah mengonfirmasi komitmennya terhadap aliansi keamanan AS-Jepang dalam berbagai kesempatan, dan Jepang terus berkomunikasi dengan AS melalui berbagai saluran.
"Mungkin sekitar awal tahun depan? Itulah yang saya bayangkan, tapi tentu saja hal itu juga bergantung pada jadwal sidang parlemen," pungkasnya.
(bbn)






























