Logo Bloomberg Technoz

Dia menambahkan, upaya itu tentu saja dilakukan melalui sinergi dengan pemerintah sebagai pengampu kebijakan fiskal. Pasalnya, bank sentral tidak bisa secara langsung mengalirkan likuiditas ke sektor riil.

"Maka itu, kami terus koordinasi erat dengan menkeu yang terus mendorong ekspansi fiskal agar aliran likuiditas di perbankan bisa mengalir ke sektor riil," tegas Perry.

Menurut Perry, hal itu dilakukan sebagai upaya untuk turut mendorong pertumbuhan ekonomi, "agar ekspansi likuiditas yang sudah kami alirkan ke perbankan bisa mengalir juga ke sektor riil."

Dari sisi instrumen moneter berupa suku bunga acuan, BI membuka ruang untuk kembali menurunkan BI Rate pada tahun depan. Hal ini disampaikan setelah bank sentral memangkas BI Rate 125 basispoin (bps) sepanjang 2025 menjadi 4,75%.

"Terkait suku bunga, ke depan masih ada ruang penurunan suku bunga," ujar Perry.

Dasar pertimbangannya, lanjut dia, adalah proyeksi inflasi yang tetap rendah dan terkendali dalam sasaran. Kemudian, BI perlu terus mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi bersama pemerintah dan berbagai pihak lain.

"Tentu saja tingkat penurunan maupun waktunya akan kami evaluasi dari bulan ke bulan melalui asesmen, baik dari sisi inflasi, pertumbuhan ekonomi, maupun stabilitas nilai tukar dan kondisi moneter yang lain," papar dia.

"Kami terus mencermati ruang penurunan suku bunga, besarnya berapa, waktunya kapan, nanti kami akan evaluasi dari setiap RDG bulanan ke bulan berikutnya."

Dari sisi instrumen stabilisasi nilai tukar rupiah, Perry menjelaskan bahwa bank sentral akan terus melakukan intervensi nilai tukar rupiah di tengah ketidakpastian yang masih tinggi. Caranya, melalui intervensi di pasar luar negeri, non-delivery forward (NDF) di Asia, Eropa, maupun AS. Selain itu, juga intervensi di pasar valas domestik, baik secara tunai, pasar spot, NDF, maupun pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder. 

berdasarkan data BI, pada November 2025, pertumbuhan uang primer (M0) tercatat sebesar 6,46% (yoy), melambat dibandingkan dengan pertumbuhan pada bulan sebelumnya sebesar 7,75% (yoy). Data M0 yang dimaksud tanpa memperhitungkan dampak penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) bank di BI karena pemberian insentif Kebijakan Likuiditas Makroprudensial (KLM). 

Di sisi lain, pertumbuhan uang Primer (M0) Adjusted tercatat tumbuh melambat menjadi 13,33% (yoy) dari pertumbuhan pada bulan sebelumnya sebesar 14,38% (yoy). Data M0 Adjusted yang dimaksud adalah uang primer yang telah menetralisasi dampak KLM.

Dari komponennya, pertumbuhan M0 yang melambat terutama dipengaruhi oleh berkurangnya penempatan excess reserves bank di Bank Indonesia. Dari faktor yang memengaruhi, pertumbuhan M0 yang melambat dipengaruhi oleh masih rendahnya penyaluran kredit/pembiayaan sehingga mendorong perbankan menempatkan kelebihan likuiditasnya pada instrumen moneter Bank Indonesia.

Sementara itu, pertumbuhan uang beredar dalam arti luas (M2) pada Oktober 2025 tercatat 7,72% (yoy), menurun dibandingkan dengan pertumbuhan pada September 2025 sebesar 8,02% (yoy).

Dari sisi faktor yang memengaruhi, pertumbuhan M2 yang melambat dipengaruhi belum kuatnya permintaan kredit di tengah pasokan likuiditas perbankan yang telah meningkat. Dari sisi komponen, perlambatan M2 dipengaruhi oleh penurunan pertumbuhan giro dan surat berharga. 

Ke depan, pertumbuhan uang yang beredar perlu terus didorong melalui sinergi kebijakan Bank Indonesia dan Pemerintah guna mendukung pertumbuhan ekonomi. 

(lav)

No more pages