
Bloomberg Technoz, Jakarta - Pemerintah Indonesia tengah menyiapkan kebijakan fiskal agresif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi tahun 2026. Namun para ekonom menekankan, dalam forum Executive Business Luncheon 2025, bahwa efektivitas kebijakan tersebut sangat bergantung pada sinergi lintas kementerian dan lembaga.
Diskusi ini berlangsung pada 5 Desember 2025 di Jakarta dan menjadi sorotan penting bagi pelaku industri dan regulator.
Acara yang digelar Technoz Studio ini mengangkat tema Navigating Indonesia's Growth Through Fiscal Discipline. Para tokoh kunci yang hadir, mulai dari Andriansyah dari Kementerian Keuangan, Josua Pardede dari Permata Bank, hingga Ibrahim Khoilul Rohman dari IFG Progress, memberikan pandangan mendalam mengenai arah kebijakan fiskal di tengah kompleksitas ekonomi global.
Kemenkeu Tekankan Pentingnya Stimulus dan Likuiditas
Direktur Strategis Produktivitas dan Pertumbuhan Ekonomi DJSEF Kemenkeu, Andriansyah, mengungkapkan bahwa pemerintah telah menyusun berbagai stimulus untuk menguatkan permintaan domestik serta menjaga daya beli masyarakat.
“Dari sisi supply, kita mencoba menambah likuiditas,” jelasnya, merujuk pada penempatan dana Rp276 triliun melalui bank-bank Himbara. Ia menggarisbawahi bahwa disiplin fiskal tetap dijaga dengan defisit APBN 2026 yang dipatok di angka 2,68 persen sesuai fiscal rules yang berlaku.
Menurutnya, instrumen fiskal hanya bisa menjadi katalis, bukan satu-satunya penopang ekonomi nasional. “APBN bisa menjadi katalis, tapi keberhasilan tetap membutuhkan dukungan sektor swasta,” tegasnya. Ia menilai kolaborasi kebijakan akan memengaruhi seberapa besar dampak stimulus fiskal terasa di lapangan.
Ekonom Permata Bank Soroti Rendahnya Permintaan Kredit
Berbeda dengan pandangan pemerintah, Chief Economist Permata Bank, Josua Pardede, menilai bahwa persoalan utama terletak pada lambatnya permintaan kredit nasional. Menurutnya, penguatan fiskal tanpa diikuti sinergi kebijakan lintas lembaga tidak akan menambah produktivitas secara signifikan.
“Kami menduga ada isu dalam permintaan kredit itu sendiri. Kebijakan fiskal saja tidak cukup,” ujarnya. Josua menilai bahwa integrasi kebijakan antara pemerintah pusat, daerah, hingga otoritas sektor tertentu harus berjalan selaras agar produktivitas meningkat.
Ia menyebutkan bahwa kebijakan fiskal seringkali terbatas dampaknya apabila tidak dibarengi reformasi sektoral yang menyentuh perizinan, insentif investasi, serta peningkatan kualitas tenaga kerja. Dalam pandangannya, konsistensi disiplin fiskal juga menjadi sinyal positif bagi pasar global.
“Kita kembali ke defisit 3% lebih cepat dari perkiraan. Itu diapresiasi investor asing,” kata Josua dalam diskusi tersebut.
Head of IFG Progress, Ibrahim Khoilul Rohman, menambahkan perspektif bahwa kebijakan fiskal memiliki dua misi penting: menjaga stabilitas jangka pendek serta memperkuat fondasi ekonomi jangka panjang. Ia menilai stabilitas makro sebagai syarat utama untuk mempertahankan kepercayaan investor dan pasar.
“Stabilitas makro adalah fondasi untuk memperkuat kepercayaan pasar,” ungkapnya.
Ia menekankan bahwa upaya pemerintah dalam mendorong foreign direct investment (FDI) dan peningkatan ekspor harus diimbangi dengan kemajuan kesejahteraan masyarakat agar pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
Menurut Ibrahim, keberhasilan kebijakan fiskal tidak hanya diukur dari besarnya stimulus, tetapi juga kemampuan pemerintah dan sektor swasta untuk menjalankan eksekusi secara terkoordinasi.
Forum Executive Business Luncheon 2025 menjadi ruang strategis untuk mempertemukan regulator dan pelaku industri dalam dialog berbasis riset dan data. Technoz Studio sebagai penyelenggara memperkuat posisinya sebagai penggerak forum premium berkat kualitas diskusi yang terstruktur dan berwawasan ke depan.
Ke depan, pemerintah menghadapi tantangan lebih besar bukan pada penyediaan stimulus, melainkan memastikan pelaksanaan kebijakan berjalan sinergis antar kementerian dan lembaga. Tanpa koordinasi, bahkan kebijakan fiskal yang kuat sekalipun akan sulit menghasilkan dampak maksimal bagi perekonomian nasional.
Dengan dinamika global yang terus berubah, para analis sepakat bahwa Indonesia membutuhkan orkestrasi kebijakan yang terintegrasi untuk menavigasi tantangan 2026. Sinergi inilah yang akan menentukan seberapa jauh kebijakan fiskal bisa menggerakkan roda pertumbuhan ekonomi.




























