Lanjut dia, angin kencang ini terjadi pada saat siklon tropis mendarat. Artinya, akan ada dua peristiwa yakni tahapan menjadi siklon tropis serta ketika siklon tropis itu mendarat. "Pada saat dia mendarat di Sumatra dan pusat badainya itu berada di darat di wilayah Sumatra bagian utara," tutur Erma.
"Berarti kan itu tuh menambah, memperparah berarti kan kekuatan daripada itu untuk menghasilkan hujan yang ekstrem tadi, intensitas dan angin yang kencang. Jadi, itu semua trigger utama, makanya saya katakan kalau diprosentasekan 80-90% itu pemicunya adalah dari cuaca [ekstrem]."
Erma menambahkan bahwa tim BRIN tengah mempersiapkan untuk meneliti vegetasi. Vegetasi yang dimaksud adalah seluruh hutan yang ada di wilayah Sumatra bagian utara.
"Nah, tahap pra kondisi dan pada saat ia mendarat itu kita sedang simulasikan, ya kan, salah satu simulasi penting yang sedang tim BRIN ini persiapkan untuk diteliti adalah apakah vegetasi, faktor vegetasi punya pengaruh dalam mengubah tracking siklon tropis, jalurnya siklon tropis. Dan yang kedua, mengubah intensitas hujan, apakah itu punya pengaruh atau tidak vegetasi itu?" ujar Erma.
Dia pun menyebut Siklon Tropis Senyar terbentuk dari Selat Malaka. Oleh karenanya BRIN sedang menyimulasikan dan membuat eksperimen simulasi model numerik untuk mempelajari hal tersebut karena sudah ada riset sebelumnya di Meksiko pada 2023.
"Itu dipelajari, itu sama, itu kondisinya badai terbentuk di laut, apakah dia bisa tracking yang masuk ke darat ke wilayah pesisir di area Meksiko atau tidak, gitu ya, dalam artian dia menjauh maksudnya atau tetep di laut, tidak masuk ke darat? Itu dipelajari, ternyata vegetasi itu punya keterkaitan," jelas dia.
Kaitannya dengan Vegetasi
Erma menjelaskan bahwa eksperimen ini dilakukan dengan pendekatan, pertama, vegetasinya dibuat rendah (low) atau banyak tutupan lahan, radius, penutup air hujan (rain covering), sampai tata guna lahannya telah beralih fungsi. Vegetasi rendah (low vegetation) ini dibuat statis dan terus bersifat low, tak dilakukan rehabilitasi, reboisasi, dan sebagainya.
Eksperimen yang kedua, lanjut Erma, itu dilakukan dengan pendekatan yang vegetasi dinamis (dynamic vegetation) atau vegetasi ini dilakukan intervensi sehingga hijau kembali dan seterusnya. Dari pendekatan pertama dan kedua, hasil simulasi di Meksiko menunjukkan badai itu memiliki perubahan arah gerak alias tren dari badainya itu berubah, misalnya yang vegetasinya masih penuh dan hutannya hijau itu membuat badai tidak menjalar ke daratan.
"Sementara kalau low vegetation, badainya masuk ke darat, itu yang pertama, yang kedua, dia mengubah presipitasi atau hujan, jadi intensitas hujan itu bisa ditekan ketika vegetasinya masih ijo dibandingkan dengan yang low vegetation," kata Erma.
Artinya, eksperimen tersebut mengubah evaporasi karena efeknya pada evaporasi. Lalu, faktor yang berubah ketika tak ada vegetasi dan terdapat vegetasi adalah evaporasi atau kelembaban di atmosfer.
"Jadi itu yang diubah, yang jelas akan berubah di atmosfer itu adalah boundary layer ya, yang dimaksud dengan lapisan batas, artinya, di riset, di kajian sebelumnya itu sudah ada orang yang meneliti, membuktikan kondisi atau kejadian yang terjadi di Meksiko, itu dipublikasikan di Jurnal Ametsoc, American Meteorological Society, itu jurnal yang sangat reputasional," ujar Erma.
"Nah, ini kita, tim BRIN ini sedang melakukan itu, supaya kita punya evidence (bukti), jadi kan nggak shortcut (jalan pintas) gitu aja, gitu. Kita ngomong misalnya 'Oh ini faktor lingkungannya besar'. Itu dari mana kita, gitu."
Erma lantas menegaskan pernyataannya yaitu penyebab bencana di Pulau Sumatra adalah 80-90% faktor cuaca dan 10-20% faktor lingkungan dapat berubah jika nantinya pada hasil kajian ditemukan atau menunjukkan bukti baru bahwa vegetasi memiliki efek yang cukup besar. Dalam hal ini karena itu mengubah jalur daripada badai, sehingga badai yang seharusnya tidak mendarat menjadi mendarat karena vegetasinya kurang, misalnya, dan intensitas hujannya tak akan sebesar itu, andai vegetasinya masih penuh.
Akan tetapi, dia perlu membuktikan dahulu vegetasi ini bisa berubah berapa persen dari pernyataan awalnya, semisal dapat mengubah menjadi 60-70% faktor cuaca dan 30-40% bisa terjadi karena faktor lingkungan. "Jadi ini masih bisa berubah, kalau ada pembuktian. Tapi kalau misalnya itu minor, ya kan, kontribusi vegetasi itu minor di dalam eksperimen nantinya, ya berarti faktor cuaca tetep dominan, saya tidak akan mengubah statement awal tentang 80-90%, saya kira itu aja," pungkas Erma.
(far/wep)






























