“Dengan pemahaman teoritis yang kuat, kita dapat memperkuat sistem peringatan dini dan mendukung ketahanan iklim nasional,” kata Albertus. Oleh karena itu, ujar dia, BRIN berharap bahwa riset-riset seperti ini dapat menjadi dasar dalam pengembangan sistem prediksi cuaca dan iklim jangka menengah, serta memberikan dukungan ilmiah bagi kebijakan mitigasi risiko bencana hidrometeorologi di Tanah Air.
Sementara itu, Peneliti Ahli Utama Klimatologi dan Perubahan Iklim Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN, Erma Yulihastin, sempat mengungkapkan bahwa kekeringan dan hujan ekstrem mengalami peningkatan signifikan. Hal ini berdampak pada wilayah Sumatra bagian tengah dan selatan.
Erma memprakirakan kekeringan ekstrem di masa mendatang juga berdampak pada wilayah Kalimantan bagian tengah, timur dan selatan termasuk Ibu Kota Nusantara (IKN). Sedangkan Kalimantan bagian barat diproyeksikan mengalami hari-hari yang lebih basah.
“Untuk Pulau Jawa, sebagian besar wilayah terancam mengalami suhu maksimum yang lebih tinggi dan suhu minimum yang lebih rendah khususnya untuk pantura Jawa Timur,” ujar Erma, dikutip laman resmi BRIN, Selasa (2/12/2025).
Dia menambagkan bahwa selain kajian proyeksi perubahan iklim tersebut, kajian klimatologis terkini terkait karakteristik hujan tahunan dan musiman di Indonesia pun diperlukan. Hal ini sebagai bentuk validasi agar indikasi perubahan iklim yang terjadi secara aktual saat ini di Tanah Air dapat dipetakan dengan lebih baik, khususnya dalam hal perubahan pada pola musim dan cuaca ekstrem.
Erma menyebut bahwa kajian mengenai indikasi perubahan hujan diurnal menjadi kunci penting untuk memahami pola cuaca ekstrem yang terjadi di benua maritim Indonesia (BMI) selama dekade terkini sebagai dampak dari pemanasan global.
Pada dasarnya, pola hujan diurnal di BMI mengikuti pola umum hujan di darat yang dipengaruhi oleh angin darat-laut dan gelombang gravitasi, sehingga fase kejadian hujan adalah sore hari di atas darat dan pagi hari di atas laut.
Secara umum, melalui kajian tersebut dia sempat mengusulkan agar Indonesia membentuk Komite Cuaca Ekstrem. Menurut dia, kolaborasi yang erat dari hulu ke hilir antara BRIN, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), pemerintah daerah (pemda), relawan, dan media dalam sebuah forum bersama atau komite sudah saatnya dibangun sebagai bagian dari langkah strategi nasional melakukan mitigasi dan antisipasi dampak cuaca ekstrem yang makin meluas akibat perubahan iklim.
“Di luar negeri, kita dapat mencontoh negara-negara federal di Amerika Serikat yang memiliki Komite Khusus Cuaca Esktrem beranggotakan ilmuwan, prakirawan, politisi yang merupakan wakil pemerintah pusat dan pemerintah daerah setempat, serta menggandeng media, LSM (lembaga swadaya masyarakat) dan relawan,” terang Erma.
(far/wep)






























