Inggris juga akan menurunkan rebate yang dibayar produsen obat kepada NHS menjadi maksimal 15%, dari sebelumnya sekitar 23%, menurut pernyataan kedua pemerintah. Detail kesepakatan ini pertama kali diberitakan Bloomberg.
Rebate
Inggris menerapkan skema kompleks untuk membatasi pengeluaran NHS atas obat-obatan, yakni program Skema Sukarela untuk Penetapan Harga, Akses, dan Pertumbuhan Obat Bermerek (Voluntary Scheme for Branded Medicines Pricing, Access and Growth/VPAG). Jika pengeluaran obat melebihi batas tertentu, produsen wajib mengembalikan dana kepada pemerintah melalui rebate atas penjualan produk mereka.
Hal ini menjadi keluhan utama perusahaan farmasi, yang menilai mereka membayar lebih tinggi di Inggris dibanding negara Eropa lainnya.
Perselisihan terkait harga obat tersebut sempat merusak hubungan pemerintah Partai Buruh dengan industri farmasi besar, padahal Inggris membutuhkan investasi untuk mengangkat produktivitas. AstraZeneca Plc termasuk perusahaan yang menunda beberapa proyek belakangan ini.
Richard Torbett, CEO Association of the British Pharmaceutical Industry, menyebut kesepakatan ini sebagai “langkah penting untuk memastikan pasien dapat mengakses obat-obatan inovatif yang dibutuhkan guna meningkatkan hasil layanan kesehatan NHS.” Ia menambahkan bahwa Inggris kini berada pada posisi lebih kuat untuk menarik investasi dan riset teknologi medis global.
Raksasa farmasi Bristol-Myers Squibb Co menyatakan akan berinvestasi lebih dari US$500 juta di Inggris dalam lima tahun ke depan berdasarkan komitmen baru ini, mencakup riset, pengembangan, dan manufaktur.
Kritik
Namun Diarmaid McDonald, Direktur Eksekutif kelompok advokasi pasien Just Treatment, menyebut kesepakatan ini sebagai “pengkhianatan” terhadap pasien NHS.
“Perusahaan farmasi besar mendapatkan apa yang mereka mau. Donald Trump mendapatkan apa yang ia mau,” katanya. “Pemerintah menyerah, dan ribuan pasien akan membayar ini dengan nyawa mereka, karena dana penting diambil dari bagian lain layanan kesehatan untuk memenuhi keuntungan eksekutif farmasi.”
Perselisihan harga obat ini menjadi bagian dari pembahasan dalam perjanjian dagang AS–Inggris, yang memberi Inggris tarif nol untuk produk farmasi paling tidak selama tiga tahun.
Trump sebelumnya juga memberikan kelonggaran kepada produsen obat dari mitra dagang besar lain, termasuk kesepakatan untuk membatasi tarif atas obat dari Uni Eropa sebesar 15%.
Beberapa produsen obat, termasuk AstraZeneca, telah menyetujui kesepakatan dengan Gedung Putih untuk menurunkan harga obat mereka di AS sebagai imbalan atas keringanan tarif.
Trump menggunakan kewenangan Section 232 dalam Trade Expansion Act, yang memungkinkan pemerintah AS mengenakan tarif terhadap produk yang dianggap penting bagi keamanan nasional, termasuk sektor farmasi, untuk memaksa perusahaan memulangkan produksi dan menekan harga obat impor.
Pemerintahan Trump juga menggunakan Section 301 dalam Trade Act untuk menyelidiki biaya obat, sebagai upaya menekan negara lain terkait harga obat mereka.
(bbn)
































