Hal ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Meski begitu, Media tak memungkiri bahwa pada pelaksanaannya tak sedikit pekerja mendapatkan intimidasi dari perusahaan.
"Bipartit itu perundingan antara pengusaha dan pekerja, ada dasar hukumnya. Harus berdasarkan perjanjian bersama dan nggak boleh bertentangan dengan aturan hukum, nggak boleh saling mengintimidasi. Memang dalam praktiknya banyak yang diintimidasi dan bipartitnya kadang tidak setara," kata Media pada Bloomberg Technoz.
Media menjelaskan, pelaksanaan bipartit biasanya untuk menyelesaikan konflik upah hingga pemutusan hubungan kerja (PHK). Salah satu yang ia soroti adalah, bipartit memiliki payung hukum yang mengatur bahwa perusahaan tidak bisa memberikan upah di bawah upah minimum.
"Apa boleh bipartit memberikan upah di bawah UMP? Itu tidak boleh. Kan ada dasar hukumnya, pengusaha wajib membayar upah minimal, ada peraturan perundang-undangannya. Kesepakatan apapun termasuk bipartit yang menetapkan upah di bawah UMP, ya batal demi hukum," jelasnya.
Kata dia, jika hal tersebut terjadi, maka pekerja bisa melaporkan ke dinas atau instansi terkait. Nantinya, Dinas Ketenagakerjaan setempat akan memproses laporan.
Jika dalam evaluasinya didapati perusahaan tersebut membayarkan upah di bawah UMP setelah bipartit, maka akan mendapatkan sanksi tegas.
"Ini tidak perlu takut [melaporkan], karena ada aturan hukumnya yang melindungi pelapor. Baru nanti ditindaklanjuti, idealnya perusahaan itu kena sanksi, bisa pencabutan izin termasuk sanksi pidana," bebernya.
Sebelumnya, Apindo menyebut mekanisme bipartit bisa menjadi salah satu alternatif dalam membahas kenaikan upah, termasuk Upah Minimum Provinsi (UMP), secara adil dan realistis di dalam perusahaan alih-alih berpedoman pada skema UMP tradisional.
(ell)































