Ia menilai pernyataan Gubernur Papua yang menyebut kasus ini sebagai bukti buruknya pelayanan kesehatan di wilayahnya adalah tepat. Namun, menurut Dicky, evaluasi tidak boleh berhenti pada pergantian pimpinan atau direktur rumah sakit semata.
“Yang dibutuhkan adalah kebijakan konkret dan komitmen tinggi. Pergantian orang tidak cukup,” katanya.
Berdasarkan pendekatan three delays model, Dicky menegaskan kegagalan utama terjadi pada penundaan ketiga, yakni keterlambatan memperoleh pelayanan memadai di fasilitas kesehatan. Meski Irena telah berkali-kali sampai di rumah sakit, ia tetap tidak menerima tindakan yang dibutuhkan.
“Kunci persoalannya adalah kegagalan menyediakan layanan obstetri darurat 24 jam. Tidak boleh hanya ada satu obgyn tanpa sistem backup,” tegasnya.
Ia juga menyoroti buruknya proses rujukan dan koordinasi antar-rumah sakit, mulai dari pembuatan surat rujukan yang lambat, keterlambatan ambulans, hingga tidak adanya komunikasi dokter ke dokter.
Kondisi ini membuat keluarga pasien harus berkeliling sendiri mencari fasilitas yang mampu menangani kondisi gawat darurat tersebut. Selain itu, triase yang lemah membuat kasus ibu hamil dengan komplikasi berat tidak diperlakukan sebagai kegawatdaruratan tinggi.
Dicky menyebut dominasi pertimbangan administratif dan finansial di atas keselamatan jiwa sebagai “kekeliruan fatal”. Permintaan uang muka dan penundaan tindakan darurat adalah praktik yang menurutnya menunjukkan pemahaman keliru atas fungsi sosial rumah sakit. Ia menegaskan bahwa dalam kondisi gawat darurat, rumah sakit wajib menerima pasien terlebih dahulu tanpa melihat kelas BPJS atau kemampuan bayar.
Selain itu, fragmentasi tata kelola layanan kesehatan di Papua menjadi sorotan. Berbagai rumah sakit daerah, rumah sakit swasta, dan institusi terkait disebut memiliki mekanisme pengawasan berbeda tanpa koordinasi yang kuat.
“Tanpa standar kegawatdaruratan yang seragam, pasien menjadi korban sistem yang terfragmentasi,” ucapnya.
Sebagai langkah perbaikan, Dicky merekomendasikan audit klinis independen terhadap seluruh rantai keputusan di setiap rumah sakit yang terlibat, penegakan aturan tanpa penolakan pasien darurat, serta penguatan jejaring rujukan ibu-neonatal. Ia juga menilai pemerintah perlu memberikan insentif khusus bagi tenaga obgyn, anestesi, dan bidan di Papua, termasuk penguatan sistem on-call dan telekonsultasi.
Ia menegaskan perlu adanya klarifikasi publik dari Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan mengenai kewajiban melayani ibu hamil dengan kondisi darurat tanpa menunda tindakan.
“Ini bukan hanya masalah teknis atau ketiadaan kamar, tetapi persoalan etik, medis, dan hukum. Dalam kondisi gawat darurat, nyawa ibu dan bayi harus diutamakan di atas administrasi,” pungkasnya.
(ain)

































