Kunjungan ini dinilai sebagai kemenangan bagi MBS, pemimpin de facto Saudi berusia 40 tahun, yang berusaha memperbaiki dan memperdalam hubungan dengan AS sambil menggunakan hubungan yang lebih erat dengan China sebagai daya tawar. Trump berulang kali memuji MBS, memanggilnya "teman saya yang sangat baik" dan mengatakan MBS telah melakukan hal-hal luar biasa "dalam hal hak asasi manusia dan segalanya."
"Saya pikir ini timpang," kata Frederic Wehrey, mantan perwira Angkatan Udara dan peneliti senior di Carnegie Endowment for International Peace. "AS menyerahkan daya tawar yang sangat besar di sini dengan memberikan begitu banyak, begitu cepat."
Selain potensi penjualan jet tempur F-35, AS setuju untuk memberikan lampu hijau pada pengiriman pertama cip kecerdasan buatan (AI) canggih kepada perusahaan Saudi, menurut sumber yang mengetahui kesepakatan tersebut. Keputusan ini diambil meskipun ada kekhawatiran keamanan nasional AS mengenai hubungan ekonomi antara Arab Saudi dan China.
Pemulihan Citra
Sama pentingnya, Trump menawarkan Pangeran Mohammed rehabilitasi citra yang sangat dibutuhkan tujuh tahun setelah pembunuhan komentator Jamal Khashoggi. Laporan intelijen AS menyimpulkan bahwa MBS mengizinkan pembunuhan kolumnis Washington Post tersebut, yang dimutilasi di dalam konsulat Saudi di Istanbul oleh tim yang mencakup petugas pengawal pribadi Pangeran.
"Dia tidak tahu apa-apa tentang itu, dan kita bisa mengakhirinya di situ," kata Trump, seraya mengkritik seorang jurnalis yang bertanya tentang masalah itu sebagai "tidak patuh."
Pembunuhan Khashoggi—serta korban sipil akibat perang Saudi di Yaman—telah membayangi hubungan AS-Saudi selama bertahun-tahun, termasuk pada paruh kedua masa jabatan pertama Trump. Mantan Presiden Joe Biden bahkan pernah menyebut MBS sebagai "paria," meskipun ia kemudian melunakkan nadanya dan memulai negosiasi pakta pertahanan komprehensif.
Meskipun kemewahan pertemuan di Ruang Oval mengaburkan kurangnya rincian konkret dan jadwal pasti dari beberapa perjanjian, ada beberapa hal yang gagal dicapai Trump. Walaupun janji penjualan pesawat tempur canggih dan investasi berbasis minyak memperkuat kesan hubungan AS-Saudi yang lebih erat, Trump tidak berhasil mendapatkan Arab Saudi untuk menormalisasi hubungan dengan Israel dengan menandatangani Kesepakatan Abraham yang ia perjuangkan. Selain itu, Arab Saudi juga tidak memperoleh pakta pertahanan bersama (mutual defense pact) seperti negara Teluk lainnya, Qatar, setidaknya hingga saat ini.
Kegagalan Strategis
"Fakta bahwa dia [MBS] dapat datang ke Washington dan diterima di Gedung Putih adalah kemenangan baginya," kata Abdullah Alaoudh, seorang advokat hak asasi manusia Saudi yang berbasis di Washington. "Tetapi sejauh ini perjalanan itu telah gagal di tingkat strategis."
Seperti banyak pengumuman awal kesepakatan yang dicapai Trump dengan mitra, tidak segera jelas seberapa cepat Arab Saudi akan menuai manfaat dari janji-janji AS. Janji penjualan F-35 akan memulai proses negosiasi yang panjang yang kemungkinan tidak akan membuat pesawat dikirim selama beberapa tahun—jika memang terjadi. Para pejabat keamanan nasional di Washington tetap waspada terhadap potensi teknologi yang akan dibagikan ke pihak lain, terutama Beijing.
Pengumuman pada hari Selasa (18/11) memungkinkan kedua pemimpin mengklaim kemenangan. Namun, kesepakatan terbesar antara kedua belah pihak—perjanjian keamanan dan diplomatik kompleks yang membutuhkan kerja sama AS, Arab Saudi, dan Israel—mungkin masih membutuhkan waktu bertahun-tahun.
Pihak Saudi mengharapkan kesepakatan di mana AS menawarkan jaminan keamanan yang diratifikasi Senat kepada Saudi, sebagai imbalan bagi Riyadh yang menormalisasi hubungan diplomatik dengan Israel. Mengingat kehancuran yang disebabkan oleh perang Israel di Gaza, Arab Saudi mengatakan normalisasi juga bersyarat pada langkah-langkah konkret menuju kenegaraan Palestina.
"Hal besar yang diinginkan Saudi adalah perjanjian pertahanan bersama dan itu hanya akan tersedia jika ada paket kesepakatan lengkap yang melibatkan normalisasi," kata Michael Ratney, yang merupakan duta besar AS untuk Arab Saudi selama pemerintahan Biden. Ia menambahkan bahwa pembunuhan Khashoggi adalah "insiden yang mengerikan," tetapi "bahkan pemerintahan Biden telah menyadari bahwa, betapapun mengerikannya, itu tidak bisa menjadi alasan untuk tidak mengejar hal-hal di mana kita memiliki kepentingan keamanan nasional fundamental."
(bbn)































