Jepang berusaha mengatasi dampak kemarahan China, dengan mengirim utusan ke Beijing pekan ini untuk membahas situasi tersebut.
Peringatan ini juga mengkritik sinyal terbaru bahwa Tokyo mungkin akan meninjau kebijakannya terkait senjata nuklir, yang menyatakan Jepang tidak akan memiliki, memproduksi, atau mengizinkan senjata nuklir dibawa masuk ke negara tersebut.
Pekan lalu, media Jepang melaporkan pemerintah sedang mempertimbangkan untuk merevisi kebijakan tersebut agar memperbolehkan pasukan AS menempatkan senjata nuklir di negara tersebut.
Beijing mengkritik rencana tersebut dan menentang saran baru-baru ini bahwa Jepang akan mempertimbangkan pengembangan kapal selam bertenaga nuklir.
Pada Jumat, juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Lin Jian mengatakan negaranya "sangat prihatin atas aksi-aksi militer dan keamanan Jepang baru-baru ini." Dia menambahkan bahwa "ini sepenuhnya menunjukkan Jepang sedang membuat perubahan kebijakan negatif yang signifikan, yang mengirimkan sinyal berbahaya pada komunitas internasional."
Menurut media lokal, Menteri Pertahanan Jepang Shinjiro Koizumi menyatakan negaranya perlu mempertimbangkan pengembangan kapal selam bertenaga nuklir. Dia menjelaskan bahwa situasi keamanan negara semakin parah, dan pemerintah perlu membahas isu kapal selam.
Pernyataan Takaichi dan tindakan-tindakan ini "bukan sekadar penghinaan terhadap kedaulatan China, tetapi juga taktik terencana untuk mengatur ulang identitas keamanan Jepang dan menormalisasi ekspansi militer," ungkap Xinhua, seraya menegaskan bahwa hal ini "berisiko mengganggu perdamaian di Asia Timur yang telah terjalin selama puluhan tahun dan menjerumuskan Jepang ke dalam konflik yang mereka ciptakan sendiri."
(bbn)





























