Hal itu turut menggantikan keramik impor, yang sebelumnya mencapai 80 juta meter persegi per tahun. Para importir tersebut kini justru bekerj sama dengan industri lokal.
Kerja sama dilakukan lewat skema Original Equipment Manufacturing (OEM). Dengan konsep ini, importir tidak lagi harus mendatangkan produk dari luar negeri, tetapi bekerja sama dengan pabrikan dalam negeri untuk memproduksi keramik dengan merek mereka sendiri.
“Hampir 90% importir besar telah menandatangani kontrak OEM dengan industri keramik nasional, dan mereka mengaku lebih puas dibanding mengimpor sendiri,” jelas Edy.
Kesepakatan itu, kata Edy, juga menawarkan sejumlah kelebihan yang membuat konsep OEM semakin diminati. Beberapa di antaranya yaitu, pertama, Kepastian suplai dan ketepatan waktu pengiriman, sehingga tidak ada keterlambatan akibat proses logistik internasional.
Kedua, harga juga lebih stabil karena tidak dipengaruhi fluktuasi kurs valuta asing. Ketiga, Pelayanan purna jual dan garansi kualitas yang tidak mungkin diperoleh jika melakukan impor langsung.
Keunggulan tersebut membuat ekosistem industri keramik nasional semakin kompetitif, sekaligus memperkuat substitusi impor di sektor penunjang pembangunan dan properti.
"Kebijakan yang mendukung industri dalam negeri dapat terus dipertahankan sehingga pertumbuhan positif dapat berlanjut pada tahun-tahun berikutnya."
Asaki memproyeksikan total produksi keramik nasional sepanjang 2025 mencapai sekitar 474,5 juta meter persegi, naik 15,16% dibandingkan total produksi keramik pada tahun lalu, yakni sekitar 412 juta.
Asaki menargetkan tingkat utilisasi kapasitas produksi keramik nasional bisa lanjut naik pada tahun depan mencapai 78% - 80%, dari saat ini yang masih berada di level 73%.
(ain)
































