Dalam kaitan itu, Wahyu memproyeksikan harga tembaga alam jangka pendek, sekitar 1—3 bulan ke depan, masih tetap menguat, didorong gangguan pasokan yang sedang berlangsung, ekspektasi penurunan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat (AS), hingga pelemahan dolar AS.
Dia memprediksi level resisten terdekat berada di US$10.800/ton. Jika angka tersebut tersentuh, tembaga akan menguji level resisten berikutnya di US$11.000/ton.
Sementara itu, level support terdekat berada di level US$10.250/ton. Jika harga tembaga anjlok ke level itu, level support berikutnya di level US$9.800/ton.
Untuk jangka menengah, sekitar 3—6 bulan ke depan, Wahyu menilai harga tembaga akan melanjutkan tren kenaikan.
Level resistance yang akan diuji berada di besaran US$12.000/ton. Jika angka itu tertembus, terdapat potensi harga tembaga global menguji level US$13.000 per ton.
Level support terdekat berada di level US$9.000/ton. Wahyu menyatakan jika harga tembaga global turun ke rentang tersebut, level support berikutnya di sekitar US$8.000/ton.
“Jangka Menengah [3—6 Bulan] tembaga diperkirakan akan melanjutkan tren kenaikan, didorong oleh tren transisi energi global dan kebijakan The Fed yang cenderung lebih dovish [pro-stimulus]. Prospek permintaan jangka panjang tetap solid,” ungkap Wahyu.
Wahyu menyatakan gangguan pasokan telah terjadi sejak akhir 2023, dipicu pertumbuhan produksi tambang yang lebih rendah dari perkiraan dan meningkatnya kapasitas peleburan di tingkat global.
Dengan begitu, dia menilai kondisi pasar tembaga sudah condong ke arah defisit bahkan sebelum peristiwa penyetopan operasional tambang Grasberg Block Cave (GBC) milik PT Freeport Indonesia (PTFI) hingga penghentian operasi Hudbay Minerals di tambang Constancia, Peru.
“Singkatnya, kondisi pasar sudah condong ke arah defisit bahkan sebelum insiden-insiden tersebut terjadi. Gangguan suplai hanya mempercepat dan memperkuat tren kenaikan yang sudah ada, bukan menjadi satu-satunya penyebab,” tegas dia.
Dengan begitu, Wahyu memprediksi kenaikan harga tembaga akan berlanjut hingga akhir tahun ini dan berpotensi hingga awal 2026, meskipun akan terjadi koreksi beberapa kali.
Wahyu mengungkapkan terdapat sejumlah faktor yang berpotensi menjegal kenaikkan harga tembaga. Antara lain; perlambatan ekonomi global, penguatan dolar AS, pemulihan pasokan yang lebih cepat, hingga jika terjadi pelemahan permintaan dari China.
“Kenaikan signifikan harga tembaga baru-baru ini didorong oleh beberapa faktor, tidak hanya gangguan suplai. Faktor utamanya adalah kekhawatiran pasokan yang ketat dan optimisme permintaan di masa depan,” tegas dia.
Adapun, di LME pagi ini, tembaga diperdagangkan di harga US$10.682,50/ton atau menurun 0,14% dari penutupan kemarin.
Tahun ini menjadi periode yang berguncang bagi harga tembaga, salah satu komoditas paling vital di dunia. Harga logam ini berfluktuasi tajam akibat perang dagang dan sanksi regional yang diberlakukan Donald Trump, yang menyebabkan masuknya volume besar logam ke pasar AS.
Selain itu, sejumlah insiden di tambang besar, termasuk longsor di tambang Grasberg milik Freeport McMoRan Inc. di Indonesia, turut menambah tekanan pada pasokan global.
Dari sisi permintaan, optimisme meluas terkait peningkatan kebutuhan tembaga untuk mendukung transisi energi dan pembangunan pusat data kecerdasan buatan (AI). Selain itu, China telah berjanji untuk secara signifikan meningkatkan porsi konsumsi domestik dalam struktur ekonominya.
(azr/wdh)































