Peluang dan Tantangan Menuju Ekonomi 8%
Dalam kesempatan lain, kalangan ekonom menjelaskan sejumlah refleksi sekaligus tantangan yang harus dihadapi dan diselesaikan oleh Presiden Prabowo Subianto dalam memaksimalkan potensi perekonomian dalam mencapai target hingga 8%.
Ekonom senior sekaligus tim asistensi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Raden Pardede mengatakan, pemerintah saat ini harus fokus untuk memaksimalkan Incremental Capital Output Ratio (ICOR), rasio yang mengukur jumlah tambahan investasi modal yang dibutuhkan untuk menghasilkan output.
Raden menyoroti hal ini harus dimaksimalkan agar Indonesia tidak lagi bergantung dan hanya mengharapkan sumber daya alam (SDA) menjadi motor usaha mesin pertumbuhan ekonomi dalam negeri.
"ICOR, mesin pertumbuhan ini perlu di-upgrade. Kalau mesinnya semakin bagus, maka penggunaan bahan bakar akan lebih efisien. Kita harus naik pangkat, jangan hanya bergantung kepada sumber daya alam saja. Itu hanya bonus," ujarnya dalam acara 'Capaian 1 Tahun Kinerja Kabinet Merah Putih di Bidang Perekonomian' di Jakarta, Senin (20/10/2025).
Raden lantas mencontohkan sejumlah negara seperti Vietnam dan China, yang telah menjalankan rencana itu. Kedua negara komunis itu, kata dia, berhasil mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang positif.
Apalagi, Vietnam, negara tetangga Indonesia yang baru saja melaporkan kinerja pertumbuhan ekonomi pada kuartal III-2025 mencapai 8,22%, jauh lebih tinggi dari Indonesia yang baru mencapai 5,12% per kuartal II-2025.
"Itulah yang harus kita bisa perbaiki," kata dia. "Kita tidak hanya bisa bergantung terhadap komoditas. China, Vietnam, mereka tidak tergantung pada itu. Jadi dibandingkan dengan negara lain, kita bukan yang paling di bawah, tapi kita harus bekerja lebih keras."
Sementara itu, Chief Economist Indonesia Economic Intelligence (IEI) Sunarsip juga mengatakan, Prabowo diminta untuk serius memperbaiki iklim investasi untuk mencapai pertumbuhan tersebut. Salah satunya adalah memberikan swasta untuk andil dalam berinvestasi.
Dia menyoroti salah satu instrumen investasi dalam bentuk surat utang negara (SUN) yang saat ini masih didominasi oleh pemerintah hingga mencapai sekitar 90%, utamanya investasi di sektor infrastruktur. Sementara itu, sektor swasta hanya mendapatkan andil sebesar 10%.
"Korporasi swasta hari ini belum dominan, karena investasi hari ini lebih banyak dan dominan oleh government," ujar dia.
Dia menjelaskan, hal ini juga sebagai akibat dari masih tingginya biaya bunga pinjaman, sehingga membuat swasta tak bisa berkompetisi akibat tingginya risiko.
"Efek cost-nya harus ditekan. Supaya apa? Kalau bisa ditekan, maka swasta punya peluang untuk melakukan fundraising di capital market dengan cost yang lebih rendah," kata dia.
"Kalau mereka bisa punya ruang itu, akan bisa untuk membantu mendorong pertumbuhan ekonomi dari sisi swasta."
(lav)






























