Namun, Saw Taw Nee, Kepala Urusan Luar Negeri KNU, membantah tuduhan itu.
“Mereka (junta) telah melakukan hal ini selama bertahun-tahun demi kepentingan sendiri. Tapi ketika mendapat tekanan dari komunitas internasional, mereka mencari kambing hitam dan menimpakan kesalahan kepada kami,” ujarnya dalam wawancara.
Media lokal melaporkan bahwa para bos pusat penipuan telah meninggalkan KK Park setelah penggerebekan militer pekan lalu. Lebih dari 1.000 orang — sebagian besar warga China — melarikan diri ke Thailand, lapor Agence France-Presse (AFP) mengutip otoritas Thailand.
“Kebanyakan orang melarikan diri. Suasananya seperti kiamat,” kata Saw Taw Nee, menggambarkan ledakan-ledakan yang terjadi di kawasan itu.
Karena adanya pembatasan internet, pusat-pusat penipuan di Myanmar mengandalkan jaringan Starlink untuk beroperasi. SpaceX, perusahaan yang dipimpin Elon Musk, mengatakan pekan lalu telah menonaktifkan lebih dari 2.500 perangkat Starlink yang dicurigai digunakan kelompok kejahatan siber. Namun, menurut Saw Taw Nee, jumlah sebenarnya bisa jauh lebih banyak karena jaringan itu “digunakan secara luas di sana.”
KNU menilai pengetatan operasi oleh junta terhadap jaringan penipuan dimaksudkan untuk meredakan tekanan dari Beijing dan meraih dukungan China menjelang pemilu. Pemimpin junta Min Aung Hlaing sebelumnya berjanji akan menggelar pemilu bertahap dan menyerahkan kekuasaan, namun negara-negara Barat, termasuk AS, menilai pemilu itu hanya formalitas belaka.
Dalam laporan tahun ini, Kantor PBB untuk Narkoba dan Kejahatan (UNODC) menyebut jaringan kriminal di Myanmar, Laos, dan Kamboja menjalankan pusat-pusat penipuan daring berskala industri, yang dikendalikan sindikat lintas negara dengan jaringan pencuci uang, perdagangan manusia, broker data, serta penyedia layanan khusus lainnya.
(bbn)































