Logo Bloomberg Technoz

Menurutnya, potensi kerugian itu ditimbulkan dari hilangnya pendapatan penjualan harian BBM hingga biaya operasional yang harus ditanggung ketika perusahaan tak mendapatkan pemasukan harian.

Badiul menjelaskan, berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), per 2024 terdapat 2.314 SPBU swasta dari total 15.917 SPBU di  Indonesia.

Jika dikalkulasikan, kekosongan bensin sejak akhir Agustus hingga 20 Oktober saja berpotensi membuat hilangnya pendapatan SPBU swasta sekitar Rp690 miliar.

“Angka tersebut [Rp690 miliar] hanya menghitung hilangnya margin penjualan. Jika memasukkan biaya tetap yang tetap berjalan tanpa pemasukan, total kerugian riil kemungkinan jauh lebih besar, bahkan bisa menembus lebih dari Rp1 triliun,” ungkap Badiul.

Badiul mengkaji, dengan skenario konservatif penjualan harian 7.500 liter dan margin keuntungan Rp500 per liter, setiap satu SPBU swasta berpotensi kehilangan sekitar Rp187 juta selama periode akhir Agustus hingga 20 Oktober 2025. Jika dihitung secara nasional, nilai kerugian kumulatif diprediksi sekitar Rp430 miliar.

Pada skenario menengah, kerugiannya kian membengkak. Dengan asumsi volume penjualan 10.000 liter per hari dan margin Rp600 per liter, potensi hilangnya pendapatan bisa mencapai Rp300 juta per SPBU atau menyentuh Rp690 miliar secara nasional.

“Angka tersebut hanya menghitung hilangnya margin penjualan,” tegas dia.

Di sisi lain, mengacu pada data Kementerian ESDM, peningkatan pasar BBM nonsubsidi selain Pertamina yang meningkat dari 11% pada 2024 menjadi 15% pada tujuh bulan pertama 2025.

Kenaikan empat poin persentase ini, kata Baidul, mencerminkan tambahan permintaan sekitar 1,18 miliar liter per tahun, atau sekitar 162 juta liter hanya dalam dua bulan.

“Angka tersebut menunjukkan besarnya potensi ekonomi yang hilang akibat terganggunya pasokan. Situasi ini ironis, karena terjadi di tengah tren positif peningkatan peran swasta dalam pasar BBM nonsubsidi. Jika kondisi ini berlanjut, bukan hanya pelaku usaha yang dirugikan, tetapi juga konsumen yang kehilangan alternatif harga dan layanan,” tegas dia.

Sebagai informasi, sejumlah operator SPBU swasta sudah melakukan penyesuaian bisnis gegara kosongnya pasokan BBM tersebut. BP-AKR menyatakan telah melakukan penyesuaian jam operasional sebab tak bisa berjualan BBM gegara stok bensin perusahan kosong.

Langkah tersebut ditempuh, sebelum perusahaan melakukan PHK.

Presiden Direktur BP-AKR Vanda Laura menyebut penyesuaian jam operasional dilakukan gegara karyawan di SPBU BP-AKR tak melayani pembeli imbas kosongnya stok bensin. Dia juga mengaku mencoba menekan biaya lainnya untuk mengefisiensikan biaya operasional.

Vanda menjelaskan, setidaknya terdapat 650 karyawan BP-AKR yang bertugas sebagai petugas SPBU di berbagai wilayah. Dia tak menutup kemungkinan akan terdapat PHK, jika perusahaan tak kunjung mendapatkan solusi memasok tambahan kebutuhan BBM untuk akhir tahun ini.

“Bukan hanya jam operasional, tapi juga biaya-biaya lainnya yang coba kami tekan sebelum kami terpaksa untuk merumahkan karyawan-karyawan kami, dan ini memang tidak lama lagi kalau ini tidak ada solusinya dalam waktu dekat,” kata Vanda dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi XII DPR, Rabu (1/10/2025).

Sementara itu, President Director & Managing Director Mobility Shell Indonesia Ingrid Siburian menyatakan saat ini perusahaan mengelola sekitar 197 SPBU dan mempekerjakan 5.300 karyawan. Kini sudah tidak terdapat jaringan SPBU Shell yang menjual bensin.

Akan tetapi, Ingrid memastikan hingga kini Shell tidak melakukan PHK. Dia mengklaim Shell cukup terbantu dengan adanya toko dan bengkel yang dioperasikan perusahaan.

“Jadi dapat saya konfirmasikan, kita [Shell] tidak melakukan PHK,” klaim dia.

“Memang yang terjadi saat ini adalah kami memberikan penyesuaian terhadap jam operasional, karena memang untuk fuel-nya memang sudah tidak ada, Pak. Jadi lebih ke arah di toko, di bengkel kami. Itu yang kami optimalisasikan dengan jumlah pekerjaan yang ada saat ini,” lanjut Ingrid.

Sebelumnya, polemik kosongnya stok bensin di SPBU swasta diharapkan bisa teratasi pada akhir Oktober, seiring dengan kesepakatan jual beli BBM dasaran antara PT Pertamina Patra Niaga (PPN) dengan badan usaha (BU) hilir migas swasta. 

Direktur Utama PT Pertamina Simon Aloysius Mantiri mengklaim kesepakatan akan terjadi pada Jumat (17/10/2025) lalu. Namun, Pj Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga Roberth Dumatubun mengungkapkan negosiasi jual–beli base fuel itu justru masih dalam tahap pembahasan aspek teknis spesifikasi dan komersial.

Dengan kata lain, hingga kini belum terdapat kesepakatan yang diputuskan dalam rapat lanjutan antara PPN serta sejumlah operator SPBU swasta pada Jumat tersebut.

Akan tetapi, dalam pernyataan terakhirnya, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengklaim beberapa operator SPBU swasta akhirnya sepakat membeli base fuel dari Pertamina.

Bahlil menyebut negosiasi jual beli BBM dasaran tersebut murni dilakukan secara business to business (B2B) antara Pertamina dengan BU hilir migas swasta. 

“Mereka lagi kolaborasi. Saya dapat laporan, sudah beberapa yang sudah melakukan perjanjian,” kata Bahlil kepada awak media, ditemui di kompleks Istana Kepresidenan pada Senin (20/10/2025) petang.

Bagaimanapun, saat ditanya lebih lanjut SPBU mana yang sudah sepakat untuk membeli base fuel dari Pertamina, Bahlil mengaku tidak mengetahui secara detail. “Saya tidak tahu teknisnya karena itu B2B.”

(azr/wdh)

No more pages