Salah satunya, lanjut dia, dalam pengujian di laboratorium BBM jenis Pertalite memiliki spesifikasi standar nilai RON 90. Akan tetapi, dalam pengujian tersebut hasil RON yang muncul di alat bisa di angka 90,1–90,2.
“Jadi RON serendah-rendahnya adalah 90 sesuai standar, tidak boleh kurang tapi bisa di atasnya. Kami tidak pernah menjual BBM ke masyarakat dengan spesifikasi lebih rendah dari yang ditentukan,” ungkap Wahyu.
Selain pengujian internal, Wahyu mengungkapkan BBM yang diproduksi KPI juga diuji di laboratorium eksternal. Salah satunya, pengujian dilakukan di Balai Besar Pengujian Minyak dan Gas Bumi (BBPMGB) Lemigas.
Dia menuturkan, produk BBM yang diuji di Lemigas diantaranya BBM jenis Pertalite, Pertamax, Pertamax Turbo, Pertadex, Biosolar dan Avtur atau bahan bakar pesawat terbang.
Oleh sebab itu, Wahyu meminta masyarakat tak perlu khawatir dengan kualitas BBM yang diproduksi oleh KPI. Dia menegaskan seluruh produk BBM telah diolah dengan pengawasan ketat, untuk memastikan kualitasnya terjaga sebelum didistribusikan.
Adapun, Kilang Cilacap memproduksi semua produk BBM, mulai dari Perta Series, solar, avtur dan yang terbaru adalah Sustainable Aviation Fuel (SAF) atau bahan bakar pesawat terbang berbahan minyak jelantah.
“Hasil pengujian ini membuktikan kalau proses pengolahan di KPI tetap optimal dan menghasilkan produk energi yang sesuai dengan standar nasional,” pungkas Wahyu.
Sebelumnya, praktisi industri migas memandang batalnya pembelian BBM dasaran atau base fuel oleh PT Vivo Energy Indonesia hingga PT Aneka Petroindo Raya (BP-AKR) dari PT Pertamina (Persero) mencerminkan tingginya standar kualitas bensin milik operator SPBU swasta.
Direktur Utama PT Petrogas Jatim Utama Cendana (PJUC) Hadi Ismoyo berpendapat kandungan etanol sebesar 3,5% yang ditemukan di dalam BBM dasaran atau base fuel yang ditawarkan Pertamina memang masih jauh di bawah ambang batas Ditjen Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di level 20%.
Akan tetapi, operator SPBU swasta dinilai memiliki kebutuhan BBM dengan spesifikasi tinggi, sehingga adanya campuran etanol dalam base fuel berpotensi mengganggu formula bensin milik badan usaha (BU) hilir migas swasta.
“Kasus ini menjadi makin jelas, bahwa spek base fuel walau secara umum tidak masalah, tetapi karena demi standar sebuah brand yang sudah demikian kuat, base fuel pun meminta spesifikasi yang excellent,” kata Hadi melalui pesan singkat, Kamis (2/10/2025).
Dalam perkembangannya, PT Pertamina Patra Niaga (PPN) angkat bicara soal polemik yang belakangan muncul terkait dengan campuran etanol dalam base fuel di tengah masyarakat.
Pj. Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga Roberth MV Dumatubun mengatakan campuran etanol itu hal yang biasa dalam bisnis BBM dan lumrah digunakan di sejumlah negara seperti Amerika Serikat (AS), Brasil hingga Thailand.
“Penggunaan BBM dengan campuran etanol hingga 10% telah menjadi best practice di banyak negara seperti di Amerika, Brasil, bahkan negara tetangga seperti Thailand,” kata Roberth seperti dikutip dari siaran pers, Kamis (2/10/2025).
Selain itu, Roberth menambahkan, campuran etanol itu juga belakangan diadopsi sebagian negara untuk mendukung program pengurangan emisi karbon.
“Bagian dari upaya mendorong energi yang lebih ramah lingkungan sekaligus mendukung pengurangan emisi karbon,” kata Roberth.
Di sisi lain, Roberth menekankan pentingnya ruang negosiasi yang saling menghormati terkait dengan pengadaan base fuel tersebut dengan operator jaringan SPBU swasta.
“Kami memastikan seluruh produk BBM yang disalurkan sesuai dengan spesifikasi resmi pemerintah serta mekanisme pengadaan yang berlaku,” tuturnya.
Adapun, dua kargo BBM dasaran yang diimpor Pertamina mulanya ditujukan untuk dijual ke operator SPBU swasta. Kargo pertama tiba pada Rabu (24/9/2025), sedangkan yang kedua pada Kamis (2/10/2025).
Akan tetapi, kargo BBM dasaran dengan volume masing-masing 100.000 barel tersebut tidak laku terjual ke BU hilir migas swasta karena berbagai alasan. Vivo sebelumnya membatalkan pesanan 40.000 barel base fuel karena isu kandungan etanol 3,5%, sedangkan BP-AKR menyoal ketiadaan certificate of origin.
(azr/del)

































