Lebih lanjut, Yayan menilai pemerintah perlu memastikan harga biodiesel B50 tetap efisien dibandingkan dengan harga bahan bakar fosil, agar pada akhirnya implementasi mandatori B50 tidak memberatkan pelaku usaha.
“Jadi dia harus kompetitif. Ya kompetitif itu untuk apa? Untuk bisa kompetitif dengan fossil fuels, sehingga subsidi untuk biodiesel itu harus lebih rendah dibandingkan dengan jumlah subsidi dari fossil fuels,” tegas dia.
Dihubungi secara terpisah, Ekonom Energi Center of Reform on Economics (Core) M Ishak Razak berpendapat setoran PE untuk mendanai B50 diprediksi turun akibat menurunnya harga CPO global dan pengetatan aturan impor CPO oleh negara Barat.
“Iya, potensi sokongan dari alokasi APBN berpotensi terjadi jika PE menurun,” kata Ishak.
Di sisi lain, dia juga memandang pertumbuhan produksi CPO domestik masih terbilang stagnan dan perlu dimitigasi oleh pemerintah. Bahkan, produksi CPO Indonesia rentan menurun akibat faktor cuaca, penanaman ulang sawit tua yang berjalan lambat, dan menurunnya penanaman sawit dalam jangka panjang.
Kajian Dampak
Ishak juga meminta pemerintah melakukan kajian dampak penggunaan B50 terhadap mesin kendaraan diesel secara komprehensif. Terlebih, sektor transportasi dan logistik merupakan lini usaha yang banyak menggunakan mesin berbasis solar, sehingga jika bermasalah akan membuat masa transisi ke B50 makin lama.
“Jika bermasalah, maka perlu ada masa transisi yang lebih lama hingga mitigasi atas keberatan tersebut diselesaikan. Apalagi, sektor transportasi/logistik mayoritas menggunakan kendaraan yang menggunakan diesel,” ungkap dia.
Adapun, dana insentif untuk B50 yang disalurkan pemerintah berasal dari PE CPO. Nantinya, dana tersebut dikelola oleh BPDP dan akan digunakan untuk menutup selisih harga CPO dengan solar.
Pada tahun ini saja, ketika biodiesel B40 dimandatorikan, dana insentif yang diberikan BPDP untuk program tersebut diproyeksikan meningkat. Mulanya, dana biodiesel untuk program B40 diproyeksikan sekitar Rp35,5 triliun, tetapi akhirnya mengalami kenaikan Rp16,8 triliun menjadi sekitar Rp52,3 triliun.
Alokasi pembiayaan biodiesel pada 2025 hanya dibatasi untuk segmen public service obligation (PSO) sebanyak 7,55 juta kiloliter (kl) dari total target produksi B40 tahun ini sebanyak 15,6 juta kl.
Adapun, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman memastikan Indonesia akan memangkas 5,3 juta ton ekspor CPO pada 2026 guna menyokong program mandatori biodiesel B50.
Amran mengatakan produksi CPO Indonesia mencapai sekitar 46 juta ton/tahun, tetapi hanya 20 juta ton yang digunakan untuk diproses di dalam negeri. Adapun, 26 juta ton lainnya masih dijual untuk pasar ekspor.
“B50 membutuhkan CPO 5,3 juta ton. Ekspor ini nantinya kita tarik 5,3 juta ton, kemudian dijadikan biofuel, dijadikan pengganti solar,” ungkap Amran.
Indonesia padahal adalah produsen dan eksportir CPO nomor satu dunia. Tingginya kebutuhan CPO dalam negeri untuk program B50 akan membuat ekspor berkurang, artinya pasokan ke pasar internasional menyusut.
Berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), total produksi CPO mencatat sepanjang Januari—Juli 2025 mencapai 30,59 juta ton dan 14,3 juta ton di antaranya dimanfaatkan untuk dalam negeri, sedangkan 19,2 juta ton sisanya diekspor.
Berdasarkan kebutuhannya, sektor pangan menyerap sekitar 5,7 juta ton CPO, oleokimia 1,3 juta ton CPO, dan biodiesel 7,2 juta ton CPO.
Gapki juga mencatat, dalam tiga tahun terakhir, produksi CPO stagnan di sekitar 50 juta ton. Perinciannya; realisasi produksi 2022 sebesar 46,7 juta ton, 2023 sebanyak 50,6 juta ton, dan 2024 sejumlah 48,1 juta ton.
Dalam kesempatan terpisah, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia juga mengumumkan hal serupa dengan Amran.
Menurut Bahlil, potensi pemangkasan ekspor CPO tersebut merupakan salah satu dari tiga strategi yang akan ditempuh pemerintah dalam mencukupi pasokan bahan baku B50, yang mandatorinya tetap dijadwalkan berlaku pada 2026.
“Memang pasti otomatis kuota ekspor [CPO] kita akan makin berkurang. Mengurangi kuota ekspor,” ujarnya kepada awak media, Kamis (9/10/2025).
Selain memangkas ekspor CPO, dua strategi lain yang akan dilakukan pemerintah adalah melakukan intensifikasi lahan-lahan perkebunan kelapa sawit dan pembukaan lahan baru.
“Ada tiga cara; intensifikasi lahan, membuka lahan baru, dan mengurangi ekspor. Namun, kalau intensifikasi dan pembukaan lahan itu [berjalan] bagus, ya tidak perlu mengurangi ekspor,” terang Bahlil.
Lebih lanjut, dia pun menyebut saat ini biodiesel B50 sudah melalui tiga kali uji coba, meski uji finalnya masih membutuhkan waktu sekitar 6—8 bulan.
“Kita sudah uji [B50] tiga kali, sekarang uji yang terakhir itu kan butuh waktu sekitar 6—8 bulan, kita uji di mesin kapal, kereta, dan alat-alat berat. Semua sudah clear dan sudah keputusan untuk kita pakai B50,” katanya.
Dengan diterapkannya mandatori B50 pada tahun depan, Bahlil berharap impor solar akan dapat distop setidaknya mulai semester II-2026.
(azr/wdh)

































