Padahal, menurut Hariyadi, penghapusan itu tidak pernah muncul dalam berbagai draft RUU yang dibahas sebelumnya — baik itu perubahan nama GIPI menjadi “Gabungan Asosiasi Pariwisata” maupun penggabungan tugas Badan Promosi Pariwisata ke GIPI.
Di sisi lain, usulan pembentukan Tourism Board yang selama ini didiskusikan juga sama sekali tak muncul di dalam undang-undang baru tersebut.
Justru, Badan Promosi Pariwisata Indonesia tetap dipertahankan, meski selama ini kelemahannya telah banyak terbukti.
Hariyadi mencontohkan bahwa sejak 2015, Badan Promosi Pariwisata di pusat belum pernah dibentuk ulang karena tak mendapat persetujuan Kementerian Pariwisata. Begitu pula di daerah, pembentukan badan promosi tergantung pada kebijakan kepala daerah — yang menyebabkan tidak semua daerah memiliki badan promosi pariwisata.
Dari aspek pendanaan, GIPI sejak awal mengusulkan konsep Badan Layanan Umum Pariwisata (BLU Pariwisata) dengan pungutan dari wisatawan mancanegara sebagai salah satu sumber pembiayaan.
“BLU Pariwisata adalah harapan industri pariwisata satu-satunya guna menjawab pendanaan pariwisata,” tegas Hariyadi.
Konsep ini diharapkan dapat menjamin tersedianya anggaran untuk pengembangan pasar dan produk wisata, tanpa tergantung dominasi anggaran kementerian atau daerah.
Pada kenyataannya, dalam UU Kepariwisataan baru tersebut, konsep pungutan wisatawan mancanegara usulan GIPI tercantum dalam Pasal 57A. Namun, kekhawatirannya adalah bahwa pungutan ini akan sulit disisihkan kembali untuk kebutuhan industri pariwisata.
"Setiap pungutan yang dilakukan pemerintah … sangat sulit untuk disisihkan, dan jika ada pun sangat minim untuk dianggarkan guna merealisasikan kebutuhan industri pariwisata,” ungkap Hariyadi.
Bapak Hariyadi menekankan bahwa pariwisata tidak sekadar soal devisa, pajak, dan PNBP yang dinikmati negara.
“Pemerintah tidak bisa hanya menikmati pendapatan … tanpa membantu industri pariwisata untuk terus mengembangkan pasarnya,” katanya.
Ia mengingatkan bahwa sektor pariwisata berdampak langsung ke masyarakat, terutama UMKM lokal yang menjadi ekosistem rantai pasok.
Menurutnya, negara lain di kawasan ASEAN umumnya memberikan dukungan besar terhadap program Tourism Board maupun promosi destinasi agar pariwisatanya berkembang. GIPI berharap agar DPR dan pemerintah serius mempertimbangkan revisi atau aturan pelaksana yang mengembalikan ruang GIPI dan menguatkan pendanaan pariwisata.
Hariyadi menyatakan bahwa penolakan bukan karena menolak perubahan, tetapi menolak perubahan yang mengabaikan peran unsur penting dalam ekosistem pariwisata nasional.
(dec/spt)






























