Kongo memproduksi hampir 220.000 ton kobalt pada 2024, menurut perusahaan perdagangan komoditas spesialis Darton Commodities. Angka itu setara sekitar tiga perempat dari total produksi global.
Larangan ekspor pertama kali diumumkan pada Februari, lalu diperpanjang tiga bulan pada Juni.
Kebijakan itu muncul setelah harga kobalt anjlok seiring CMOC Group Ltd. asal China meningkatkan produksi di dua tambang besar di negara Afrika Tengah tersebut.
Awal tahun ini, harga acuan sempat jatuh di bawah US$10 per pon, level yang tak tersentuh selama 21 tahun kecuali penurunan singkat pada akhir 2015, menurut data Fastmarkets.
Sejak itu, harga kobalt telah rebound lebih dari 60%, dengan harga kobalt hidroksida, produk utama ekspor Kongo, melonjak lebih dari dua setengah kali lipat.
Larangan ekspor telah memangkas pasokan ke pasar terbesarnya. Di China, impor produk setengah jadi kobalt anjlok lebih dari 90% pada Agustus dibandingkan periode yang sama tahun lalu, menurut data bea cukai akhir pekan.
Kuota akan dihitung secara proporsional berdasarkan ekspor historis dan “akan diinformasikan kepada masing-masing perusahaan,” kata Otoritas Regulasi dan Pengendalian Pasar Bahan Mineral Strategis Kongo, ARECOMS.
(bbn)


































