Sepertinya demikian. Bank Negara Malaysia (BNM) sejatinya juga menerapkan kebijakan moneter yang cenderung longgar. Namun tidak selonggar BI.
Tahun ini, BNM baru menurunkan suku bunga sekali yaitu pada Juli. Suku bunga acuan Negeri Harimau Malaya kini berada di 2,75% setelah dipangkas 25 bps.
Sementara bank sentral Thailand (BoT) menurunkan suku bunga acuan tiga kali tahun ini. Pada awal tahun, suku bunga acuan Negeri Gajah Putih berada di 2,25% dan sekarang di 1,5%.
BoT menurunkan suku bunga acuan pada Februari, April, dan Agustus masing-masing 25 bps. Jadi total pemangkasan sepanjang 2025 adalah 75 bps.
Sama seperti Thailand, bank sentral Filipina (BSP) juga tiga kali menurunkan suku bunga acuan tahun ini. Penurunan terjadi pada April, Juni, dan Agustus.
Suku bunga acuan Filipina pada awal tahun berada di 5,75% dan saat ini berada di 5%. Jadi, suku bunga diturunkan masing-masing 25 bps dengan total 75 bps sepanjang 2025.
Adapun di Vietnam, bank sentral SBV sama sekali tidak menurunkan suku bunga acuan. Saat ini suku bunga acuan Negeri Paman Ho masih di 4,5%, sama seperti awal tahun.
Alasan Agresivitas BI
Oleh karena itu, BI pun resmi menjadi bank sentral paling agresif di Asia Tenggara. Apa yang membuat BI begitu dovish?
“Keputusan ini sejalan dengan upaya bersama untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dengan menjaga tetap rendahnya prakiraan inflasi 2025 dan 2026 dalam sasaran 2,5±1% dan stabilitas nilai tukar rupiah sesuai dengan fundamentalnya. Ke depan, Bank Indonesia akan terus mencermati prospek pertumbuhan ekonomi dan inflasi dalam memanfaatkan ruang penurunan suku bunga BI Rate dengan mempertimbangkan stabilitas nilai tukar rupiah,” kata Perry.
Pelaku pasar pun merespons positif langkah MH Thamrin tersebut. Wee Khoon Chong dari BNY Mellon menyebut penurunan suku bunga acuan kemarin mengkonfirmasi posisi (stance) BI yang pro-pertumbuhan ekonomi.
“Kami dalam posisi menambah aset-aset di Indonesia. INDOGB (obligasi pemerintah berdenominasi valas) dan IHSG akan terdorong oleh pelonggaran ini,” sebut Wee, seperti dikutip dari Bloomberg News.
Wee juga menegaskan tidak perlu cemas terhadap risiko pelemahan nilai tukar rupiah sebagai dampak dari penurunan BI Rate. Sebab, dolar Amerika Serikat (AS) sendiri sedang dalam tren melemah.
Dalam sepekan terakhir, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) melemah 0,5%. Selama sebulan terakhir, indeks ini terpangkas 1,24%.
Bahkan sepanjang 2025 (year-to-date), Dollar Index masih anjlok hampir 11%.
“USD/IDR akan terdorong ke bawah secara bertahap karena pelemahan dolar AS. Arus modal (inflows) juga akan masuk karena ketidakpastian yang mereda,” tambah Wee.
Hal senada diungkapkan Jerry Goh dari Aberdeen. Menurutnya, BI memang punya ruang untuk menurunkan suku bunga acuan karena bank sentral AS Federal Reserve pun diyakini bakal menempuh langkah serupa.
“Dolar AS yang tidak terlampau kuat melawan rupiah menciptakan ruang bagi BI untuk menurunkan suku bunga acuan. BI bisa lebih fleksibel dengan kebijakan moneter untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi yang memang dibutuhkan,” tegas Goh, juga dinukil dari Bloomberg News.
(aji)




























