Keempat, MPR sudah tidak bisa membuat PPHN dan Ketetapan (Tap MPR). Menurut Zainal, lembaga yang dulunya memiliki kedudukan tertinggi itu akan kembali menghidupkan Tap MPR untuk menetapkan PPHN.
“Padahal MPR sudah tidak punya kewenangan untuk mengeluarkan Tap. Kalau ada produk hukum Tap MPR, bagaimana nasibnya dengan hirarki perundang-undangan?,” ujarnya.
Perlu diketahui, Indonesia mengatur jenis dan hirarki perundang-undangan terdiri dari UUD 1945; Tap MPR; Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah Provinsi; dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Hal ini termaktub dalam Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Beleid itu masih mengatur adanya Tap MPR, yang posisinya di bawah UUD 1945 dan lebih tinggi dari undang-undang. Namun, Tap MPR yang dimaksud adalah beleid lama yang pernah dikeluarkan oleh MPR sebelumnya dan dianggap masih berlaku.
Dengan demikian, Indonesia juga harus melakukan amandemen UUD 1945 untuk mengatur kewenangan MPR kembali menyusun Tap MPR.
“Untuk menghidupkan PPHN, tergantung PPHN mau ditaruh di mana. Kalau langsung PPHN ditaruh di UUD, berarti harus mengubah. Kalau PPHN ditaruh melalui Tap MPR, maka harus mengubah UUD untuk menghidupkan bahwa MPR bisa mengeluarkan Tap,” ujar dia.
Kelima, MPR harus membuka rancangan PPHN yang sudah selesai. Hal ini dilakukan agar publik bisa menilai bentuk dan tujuan dari PPHN yang disusun tersebut.
Sebelumnya, MPR mengatakan tengah mengkaji tiga opsi produk hukum yang akan digunakan untuk menetapkan PPHN. Wakil Ketua MPR Eddy Soeparno mengatakan tiga opsi tersebut di antaranya adalah berdasarkan amandemen Undang-Undang Dasar 1945; konsensus nasional; atau sekadar undang-undang.
Meski produk hukum belum disepakati, MPR mengatakan telah menyepakati substansi dari PPHN, yakni pembangunan yang berkelanjutan, pembangunan sumber daya manusia, penguatan sendi-sendi hukum dan lain-lain
Dalam hal ini, Presiden Prabowo Subianto juga memberikan saran mengenai substansi dari PPHN, yakni adalah pembangunan ekonomi ke depan harus berkelanjutan, berwawasan lingkungan dan lain-lain.
Memasuki reformasi, berdasarkan amandemen ketiga dan keempat konstitusi, MPR sebenarnya tidak lagi berwenang menetapkan GBHN. Perencanaan pembangunan digantikan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) yang ditetapkan undang-undang, dan diturunkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang, Menengah, dan Pendek.
Sebelumnya, Ketua MPR Ahmad Muzani mengatakan konsep pokok-pokok haluan negara yang saat ini digodok MPR adalah tentang bagaimana keberlanjutan pembangunan bisa berjalan dengan lancar, di mana hal-hal yang sudah dilakukan pemerintah bisa dilanjutkan sebagai sebuah keberlanjutan. Sehingga, menurut dia, diperlukan pokok-pokok haluan negara yang mengikat satu sama lain. Menurutnya, konsep pokok-pokok haluan negara juga masih sama dengan GBHN sebelumnya.
Namun, Muzani mengatakan tidak ada pembahasan untuk kembali menjadikan MPR sebagai lembaga tertinggi melalui penyusunan pokok-pokok haluan negara.
(dov/frg)
































