Logo Bloomberg Technoz

Capaian surplus itu didapatkan dari kinerja ekspor pada Juni yang  melampaui ekspektasi pasar dengan laju mencapai 11,29%, setelah pada bulan sebelumnya tumbuh 9,68%. Dari sisi nilai, ekspor Indonesia juga masih besar mencapai US$ 23,44 miliar pada Juni.

Pada saat yang sama, kinerja impor Indonesia pada Juni hanya tumbuh 4,28%, di bawah ekspektasi pasar. Namun, lebih tinggi dibanding kinerja Mei yang tumbuh 4,14%. Sedangkan nilainya mengecil jadi US$ 19,33 miliar dari capaian Mei sebesar US$ 24,61 miliar.

Kenaikan ekspor melampaui perkiraan itu dinilai masih sebagai imbas langkah frontloading para eksportir ke pasar Amerika, mengantisipasi penerapan tarif oleh Presiden AS Donald Trump.

Sementara impor meski nilainya turun tipis, akan tetapi impor barang modal masih melanjutkan pertumbuhan double digit sebesar 37,9% year-on-year. Hal itu, "Menunjukkan berlanjutnya realokasi rantai pasok dari China ke ASEAN untuk menghindari tarif Trump sebesar 55% dari China," kata Lionel.

Sebagai catatan, tarif AS untuk negara ASEAN sejauh ini lebih rendah dibanding ke China. Tertinggi adalah untuk barang impor dari Laos sebesar 40%, Vietnam 20%, lalu Malaysia, Thailand, Indonesia dan Kamboja terkena 19% dan Filipina yang terkena 18%.

Data perdagangan Juni itu mengurangi tekanan pada rupiah yang sempat amblas ke level Rp16.515/US$ pagi tadi. Siang ini, jelang dibukanya pasar Eropa, rupiah bergerak di Rp16.495/US$, mencerminkan pelemahan 0,24%, masih lebih baik dibanding won, dolar Taiwan, baht dan ringgit.

Prospek BI Rate

Namun, pandangan dari UOB sedikit berbeda. Ekonom UOB Group Enrico Tanuwidjaja mengatakan, adanya risiko penurunan surplus dari perdagangan barang dan jasa, bisa membawa defisit transaksi berjalan tahun ini makin lebar dari tadinya diprediksi sebesar 1% menjadi 1,5% dari PDB.

Defisit current account diperkirakan makin melebar pada 2026 nanti mencapai 2,1% dari PDB.

"Preseden historis menunjukkan bahwa rupiah biasanya terdepresiasi selama pelebaran transaksi berjalan. Hal itu bisa mempersulit peluang pelonggaran suku bunga BI rate pada 2025. BI rate kemungkinan baru akan lanjut turun pada kuartal 1-2026," kata Enrico dalam catatannya, seperti dilansir dari Bloomberg News.

Kekhawatiran akan peluang penurunan BI rate lebih lanjut, sepertinya juga tecermin dari pergerakan imbal hasil Surat Utang Negara saat ini.

Yield SUN-2Y naik 2,8 bps kini di level 5,860%. Sedangkan tenor 1Y bahkan naik yield-nya sampai 5 bps di 5,817%.

Sementara SUN 5Y naik tipis 0,5 bps bersama tenor 10Y yang juga naik 0,7 bps di 6,575%, seperti dilihat dari OTC Bloomberg.

Tekanan harga surat utang hari ini juga dipengaruhi oleh rilis data inflasi Indonesia pada Juli yang melonjak akibat kenaikan harga beras juga biaya pendidikan.

Inflasi Juli tercatat sebesar 2,37%, lebih tinggi ketimbang ekspektasi pasar yang memperkirakan sebesar 2,26%. Sementara inflasi inti Juli tercatat sebesar 2,32%, lebih rendah daripada ekspektasi pasar. Angka inflasi inti Juli juga lebih rendah daripada bulan sebelumnya sebesar 2,37%.

Sebelumnya, S&P Global juga melaporkan aktivitas manufaktur Indonesia pada Juli yang masih terjebak di zona kontraksi di level 49,2. Itu menandai kontraksi manufaktur Indonesia dalam empat bulan beruntun.

(rui)

No more pages