Ketegangan meningkat setelah Presiden Emmanuel Macron mengatakan bahwa Prancis akan mengakui negara Palestina pada September. Hal ini memicu reaksi keras dari AS dan Israel, yang berpendapat bahwa serangan militer di Gaza diperlukan untuk menggulingkan dan melucuti senjata kelompok Palestina, Hamas, yang dilabeli sebagai organisasi teroris oleh AS dan Uni Eropa.
Pada Minggu, tentara Israel menangguhkan beberapa operasi militer terhadap Hamas untuk memfasilitasi pergerakan konvoi bantuan PBB ke Gaza, dan memulihkan pasokan listrik ke pabrik desalinasi untuk pertama kalinya sejak Maret.
Barrot menyebut keputusan Macron melengkapi strategi Presiden Donald Trump untuk kawasan tersebut. Menurutnya, mengakui kedaulatan Palestina akan menciptakan kondisi untuk mengakhiri permusuhan, membebaskan sandera Israel, dan mendorong negara-negara Arab untuk menyerukan pelucutan senjata Hamas.
Barrot mengungkap para pejabat Prancis dan Arab Saudi diperkirakan akan memimpin konferensi untuk membahas kedaulatan Palestina di New York pekan ini.
Prancis dan Uni Eropa menginginkan pemerintah Israel "membayar €2 miliar [sekira Rp38 triliun] utang mereka kepada Otoritas Palestina dan mencabut blokade keuangan yang saat ini menghalangi Otoritas Palestina untuk melaksanakan tugas-tugas dasarnya," tegas Barrot.
Dia juga mendesak Israel untuk membatalkan rencana terbarunya untuk mendirikan 3.400 unit perumahan tambahan di Tepi Barat. Pasalnya, rencana itu bakal membagi wilayah Palestina yang diduduki Israel menjadi dua dan menghalangi munculnya negara Palestina yang layak.
Prancis akan menjadi negara pertama dari G7 yang mengakui Palestina sebagai negara. Negara-negara Barat lain yang telah mengakui Palestina, antara lain Spanyol, Irlandia, dan Norwegia.
(bbn)































