Dengan prinsip utama yang dijunjung dalam kerja sama ini adalah tata kelola data yang baik, perlindungan hak individu, dan kedaulatan hukum nasional.
"Seluruh proses transfer data tetap berlandaskan pada kerangka hukum Indonesia, khususnya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi dan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik," kata Meutya. "Hal ini menjamin bahwa pemindahan data dilakukan secara terbatas, sah secara hukum, dan berada di bawah pengawasan penuh pemerintah."
"Melalui kesepakatan ini, Indonesia mengambil posisi sejajar sebagai mitra yang berdaulat dan dihormati. Serta memastikan adanya mekanisme hukum yang melindungi hak-hak digital warga negara Indonesia dalam ekosistem digital global," pungkasnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan kesepakatan pertukaran data antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS) tidak melibatkan transfer data pribadi secara langsung antarpemerintah, melainkan didasarkan pada protokol perlindungan data yang ketat dan persetujuan individu pengguna.
Menurut Airlangga, pada praktiknya, sebenarnya banyak data pribadi yang secara sadar diunggah masyarakat sendiri saat mendaftar layanan, seperti Google, Bing, email, e-commerce atau saat berlangganan media.
"Jadi, finalisasinya bagaimana ada pijakan hukum yang sah, aman, dan terukur untuk tata kelola lalu lintas data pribadi antarnegara atau cross border daripada data pribadi tersebut. Ini menjadi dasar hukum yang kuat untuk perlindungan data pribadi warga negara Indonesia ketika menikmati layanan cross border," jelas Airlangga dalam konferensi pers di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Kamis (24/7/2025).
Terkait kekhawatiran publik soal potensi penyalahgunaan data seperti KTP dan identitas sensitif lainnya, Airlangga kembali menegaskan semua akses data dilakukan berdasarkan izin pengguna, dan otoritas Indonesia tetap menjadi pengawas utama berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP).
Saat ini, dia mengklaim setidaknya 12 perusahaan teknologi AS telah mendirikan atau merencanakan pembangunan pusat data (data center) di Indonesia, seperti Amazon Web Services (AWS), Microsoft, Google Cloud, Equinix hingga Oracle yang tengah menjajaki ekspansi ke Batam. Total investasinya diperkirakan mencapai US$6 miliar.
Menjawab bentuk regulasi lanjutan untuk skema pertukaran data ini, Airlangga menyebut protokol sudah disiapkan dan akan terus diperkuat dalam kerangka tata kelola data nasional. Pemerintah juga sedang mendalami kerangka kerja sama digital regional seperti ASEAN Digital Economic Framework Agreement (DEFA) yang mencakup sistem pembayaran hingga integrasi data.
"Jadi, sebetulnya ini dasar dari praktiknya saja dan Amerika juga melihat pentingnya data center ada di wilayah Indonesia. Sehingga, data center adalah salah satu investasi yang besar di Indonesia, selain hilirisasi," pungkasnya.
(prc/spt)






























