“Ini penting untuk menghindari asumsi bahwa Indonesia menyerahkan kedaulatannya begitu saja kepada negara lain dalam pengelolaan data warganya,” kata Pratama.
Kemudian dia menjelaskan, secara substansi, pada Pasal 56 UU PDP memang membuka ruang bagi transfer data pribadi ke luar negeri selama negara penerima memiliki tingkat perlindungan data pribadi yang setara atau lebih tinggi dari Indonesia. Artinya, RI tetap memegang kendali normatif dan bisa menentukan siapa saja pihak atau negara yang memenuhi syarat untuk menjadi penerima data.
“Di sinilah peran penting lembaga pengawas perlindungan data pribadi, yang saat ini masih menunggu pembentukan resmi, akan menjadi penentu utama dalam proses evaluasi dan penetapan standar pengamanan data lintas negara,” tutur Pratama.
Sementara itu, kata dia, secara historis, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik pun telah mengatur tentang lokasi sistem elektronik dan aliran data lintas batas, dan membuka kemungkinan pemrosesan data di luar negeri, selama memenuhi syarat perlindungan keamanan dan kepatuhan terhadap hukum yang berlaku.
“Dengan demikian, pernyataan Menkominfo memiliki pijakan regulatif yang kuat, baik dalam rezim hukum yang lama maupun dalam UU PDP sebagai norma hukum baru,” kata Pratama.
Sebelumnya, Menkomdigi RI Meutya Hafid menerangkan ihwal poin keenam kesepakatan tarif Indonesia-AS yang menyinggung komitmen transfer data pribadi ke negara Paman Sam tersebut dalam kapasitas mengatasi hambatan perdagangan.
“Sebagaimana disampaikan Presiden Prabowo bahwa negosiasi masih berjalan terus dan tertulis dalam rilis White House (Gedung Putih) untuk bagian Removing Barriers for Digital Trade Barrier bahwa kesepakatan masih dalam tahap finalisasi. Pembicaraan teknis masih akan berlangsung,” ujar Meutya dalam keterangan resmi, Kamis (24/7/2025).
Lanjut dia, pemerintah lewat Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) RI menegaskan bahwa finalisasi kesepakatan perdagangan antara RI-AS yang diumumkan pada 22 Juli 2025 oleh Gedung Putih bukanlah bentuk penyerahan data pribadi secara bebas, melainkan menjadi pijakan hukum yang sah, aman, dan terukur dalam tata kelola lalu lintas data pribadi lintas negara.
Dia menerangkan, kesepakatan yang dimaksud justru bisa menjadi dasar legal bagi perlindungan data pribadi WNI saat menggunakan layanan digital yang disediakan oleh perusahaan berbasis di AS, seperti mesin pencari, media sosial, layanan cloud, dan e-commerce.
Adapun prinsip utama yang dijunjung adalah tata kelola data yang baik, pelindungan hak individu, dan kedaulatan hukum nasional. “Pemindahan data pribadi lintas negara diperbolehkan untuk kepentingan yang sah, terbatas, dan dapat dibenarkan secara hukum,” kata Meutya.
Dia pun menyebut bahwa landasan hukumnya merujuk pada UU PDP serta sebelumnya PP 71/2019, yang secara eksplisit mengatur mekanisme dan prasyarat pengiriman data pribadi ke luar yurisdiksi Indonesia. “Pemerintah memastikan bahwa transfer data ke Amerika Serikat tidak dilakukan sembarangan,” kata Meutya.
(far/roy)
































