Dia menegaskan Indonesia memiliki politik luar negeri nonblok, sehingga dalam perdagangan internasional seharusnya Indonesia dapat berniaga dengan siapapun meski terdapat risiko yang perlu diwaspadai.
Komaidi menilai dinamika perdagangan internasional memang tak bisa ditebak belakangan ini, utamanya usai Trump mengeluarkan kebijakan tarif resiprokal untuk menutup defisit perdagangan AS dengan berbagai mitra dagangnya.
Indonesia sendiri diganjar tarif sebesar 19%, lebih rendah dari sebelum pemerintah berunding dengan AS, yakni sebesar 32%. Salah satu kesepakatan yang diteken RI-AS yakni kebijakan impor komoditas energi dengan alokasi nilai sekitar US$10 miliar—US$15 miliar.
Dia memprediksi dinamika perdagangan global tersebut tidak akan terjadi dalam jangka panjang, melainkan hanya dalam jangka pendek-menengah atau setidaknya hingga Trump lengser dari jabatannya.
Dengan begitu, dirinya kembali meminta pemerintah mengkaji rencana impor migas dari Rusia di tengah gejolak dagang yang belakangan terjadi.
“Saya kira untuk kerja sama dalam jangka panjang perlu diperhatikan, tetapi yang dalam jangka pendek menengah juga perlu dipertimbangkan biaya dan manfaatnya,” pungkas Komaidi.
Paket Baru
Uni Eropa pada hari Jumat (18/7/2025) meluncurkan paket pembatasan ke-18 yang menargetkan Rusia dan perdagangan minyaknya sebagai bentuk kecaman atas invasi di Ukraina.
Terlebih, blok mata uang tunggal tersebut tengah berjibaku mengebiri pendapatan energi Kremlin yang selama ini didukung oleh ekspor minyak mentah Rusia ke India.
Langkah-langkah tersebut mencakup sanksi terhadap fasilitas kilang minyak India, di mana Rosneft memegang 49,13% sahamnya. Perusahaan ini dikelola oleh Dewan Direksi independen.
Melalui pernyataan resminya, Rosneft menganggap sanksi Eropa tersebut “tidak dapat dibenarkan dan ilegal”, serta menyebutnya sebagai contoh lain pembatasan ekstrateritorial “bermotif politik yang terang-terangan melanggar hukum internasional.”
Rosneft juga menuding UE telah merugikan kepentingan ekonomi suatu negara berdaulat, dalam hal ini India.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia sebelumnya mensinyalir Indonesia makin serius untuk mengeksekusi rencana impor minyak mentah dan LPG dari Rusia.
Hal tersebut disampaikan usai kunjungan delegasi Indonesia yang dipimpin oleh Presiden Prabowo Subianto untuk menemui Presiden Rusia Vladimir Putin di St. Petersburg pada 18—20 Juni 2025.
“Pekan ini, pada Kamis, Jumat sudah ada tim dari Rusia yang akan datang ke Indonesia untuk memulai menindaklanjuti apa yang diomongkan [pertemuan bilateral] minggu lalu,” kata Bahlil dalam wawancara dengan Liputan6 TV, akhir bulan lalu.
Dia menggarisbawahi harga yang ditawarkan Rusia harus lebih murah atau kompetitif dibandingkan dengan negara lain.
Di sisi lain, Indonesia memang harus mengoptimalkan potensi sumber daya yang ada, tetapi tetap membutuhkan kerja sama dengan negara lain.
“Kalau kerja sendiri saya yakin optimalisasinya tidak akan semaksimal kalau kita melakukan kolaborasi dengan teman-teman investor dari luar,” tuturnya.
Bahlil juga menuturkan dia bersama Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Djoko Siswanto dan Direktur Utama PT Pertamina Simon Aloysius Mantiri telah berkomunikasi dengan sejumlah BUMN migas Rusia.
Selain membahas impor minyak mentah dan LPG, Bahlil mengatakan RI akan kerja sama dengan RI-Rusia terkait dengan pengembangan sumur minyak tua karena Rusia memiliki teknologi yang lebih maju.
Ia mengungkapkan, Rusia akan berinvestasi lebih dari US$10 miliar di sektor hulu migas Indonesia.
Investasi tersebut, lanjutnya, dialokasikan untuk kegiatan eksplorasi lapangan migas tua yang kurang produktif dengan pemanfaat teknologi dari Moskwa. Dia juga mensinyalir salah satu lokasi yang disasar Rusia adalah Blok Tuna di lepas pantai Natuna bagian utara.
(azr/wdh)


































