"Tentu ini Indonesia paling dirugikan dalam skema tarif yang timpang ini. Tentu Amerika mendapat keuntungan ya, karena produk Indonesia lebih mahal di pasar Amerika," tutur dia.
Apalagi, kata dia, Negeri Paman Sam juga akan semakin diuntungkan dengan kemudahan aksesnya dalam mengambil sejumlah komoditas mineral dan pertambangan RI seperti tembaga.
PT Mega Capital Sekuritas belakangan juga memproyeksikan Indonesia akan mengalami defisit neraca perdagangan terhadap AS mencapai US$1,26 miliar hingga US$7,19 miliar pada 2025.
Proyeksi tersebut mempertimbangkan komitmen Tanah Air dalam kesepakatan negosiasi tarif untuk membeli produk energi sebesar US$15 miliar, produk pangan sebesar US$4,5 miliar dan 50 Jet, mayoritas adalah Boeing 777 dari AS.
Dalam hal ini, tim peneliti - yang terdiri dari Fixed Income & Macro Strategist Lionel Priyadi dan Junior Macroeconomist Muhamad Haikal - melandasi perhitungan dengan mempertimbangkan dampak kesepakatan tarif 19% dan komitmen pembelian produk dari AS dari sisi ekspor dan impor.
Pertama, tim peneliti menggunakan asumsi bahwa nilai ekspor Indonesia ke AS akan naik 18,4% menjadi US$31,21 miliar pada 2025 dibandingkan dengan US$26,36 miliar pada 2024. Angka ini didasari oleh kinerja ekspor Tanah Air ke Negeri Paman Sam selama Januari-Mei 2025. Dengan penerapan tarif 19%, maka terdapat potensi penurunan ekspor antara US$3 miliar hingga US$12 miliar.
Kedua, tim peneliti menggunakan asumsi impor Indonesia dari AS sebesar US$26,54 miliar pada 2025. Hal ini terjadi karena mempertimbangkan tambahan nilai impor akibat komitmen pembelian produk energi, pangan hingga Boeing ke AS.
Dalam hal ini, impor produk energi adalah US$2,92 miliar, produk pangan US$2,04 miliar dan impor pesawat hanya US$0,35 miliar pada 2024. Selain itu, total impor keseluruhan dari AS adalah US$12 miliar. Dengan kesepakatan terbaru, maka Indonesia harus menambah impor produk energi US$12,08 miliar dan produk pangan US$2,46 miliar.
Tim peneliti menggunakan asumsi bahwa pembelian Boeing baru selesai dilakukan setelah 2035 karena perusahaan manufaktur itu saat ini memiliki antrean (backlog) produksi selama 11,5 tahun. Maka, Indonesia harus menambah impor dari AS sebesar US$14,54 miliar dari yang saat ini hanya US$12 miliar.
Dengan perhitungan tersebut, tim peneliti menggunakan empat elastisitas ekspor. Dalam skema pertama, neraca perdagangan dengan AS diramal bakal tetap surplus US$1,71 miliar. Sementara, skema kedua hingga keempat, neraca perdagangan dengan AS diramal defisit pada level US$1,26 miliar hingga US$7,19 miliar.
"Melihat angka ini, tak heran [Presiden AS Donald] Trump bersemangat mengumumkan kesepakatan dagang dengan Indonesia. Lagipula, ini adalah kesepakatan dagang yang besar dan indah baginya," ujar tim peneliti dalam risetnya.
(lav)































