"Beberapa perusahaan yang sangat bergantung pada pasar AS mungkin tidak akan bertahan," tulis para ekonom yang dipimpin Chang Shu dalam catatan riset, yang terbit beberapa hari lalu, dikutip Senin (21/7/2025).
"Perusahaan lain akan berusaha beradaptasi—menerima margin lebih rendah, memberhentikan pekerja, memotong upah, dan berpotensi membanjiri pasar domestik dan pasar luar negeri lainnya dengan barang-barang murah."
Temuan ini menyoroti risiko ekonomi yang ditimbulkan oleh tarif terhadap ekonomi terbesar kedua di dunia, terutama saat konsumsi domestik masih lesu. Para pejabat perdagangan terus bernegosiasi dengan AS untuk mencapai kesepakatan bilateral guna menghindari eskalasi tarif lebih lanjut; awal tahun ini, tarif terhadap China melonjak hingga 145%.
Data pekan ini menggarisbawahi ketergantungan raksasa Asia tersebut pada produksi industri dan ekspor untuk mendorong pertumbuhan. Meski produk domestik bruto (PDB) meningkat 5,2% pada kuartal kedua, melampaui perkiraan analis, pertumbuhannya didorong oleh pengiriman barang yang dipercepat dan penurunan harga oleh produsen, di mana keduanya sulit dipertahankan.
Menurut analisis Bloomberg Economics, hampir separuh sektor industri China bergantung pada pasar luar negeri untuk menyerap 10% atau lebih dari produksi mereka, dan AS tetap menjadi mitra dagang terbesar China. Para analis menilai tarif lebih tinggi dalam jangka panjang akan mendorong perusahaan-perusahaan di AS mencari pasokan barang dari negara lain.
Tentu saja, ada faktor-faktor yang dapat meredam dampak negatif terhadap industri China, termasuk ekspor ke negara-negara lain, di mana barang-barangnya tidak menghadapi hambatan perdagangan yang sama. Beberapa produk juga bisa diserap oleh permintaan domestik.
Beberapa sektor juga telah menguasai pasar global, sehingga sulit atau bahkan mustahil bagi perusahaan-perusahaan AS untuk menemukan barang yang dibutuhkan di negara lain. Pemerintah China juga bisa memberikan dukungan fiskal tambahan.
(bbn)































