Improvisasi ini dilakukan lewat penerapan teknologi baru yang dikembangkan oleh mitra teknologi mereka. Pendekatan ini bukan hanya menekan Capex, tetapi juga memperbaiki proyeksi nilai ekonomis proyek dalam jangka panjang.
Ketika ditanya soal waktu yang dibutuhkan hingga proyek-proyek jumbo ini mulai menghasilkan keuntungan, Andaru menyebut estimasi tidak banyak berubah dari rencana semula.
“Kurang lebih masih sama seperti dua hingga tiga tahun lalu. Masih cukup ekonomis, sekitar 5 sampai 10 tahun, lebih dekat ke 5 tahun,” katanya.
INCO sendiri saat ini tengah mengembangkan tiga tambang besar tersebar di Bahodopi, Pomalaa, dan Sorowako yang dikombinasikan dengan pembangunan fasilitas HPAL sebagai bagian dari strategi hilirisasi di Indonesia.
Tiga proyek jumbo ini memiliki nilai investasi mencapai US$8,5 miliar.
Proyek Bahodopi menjadi yang paling siap untuk segera beroperasi dalam waktu dekat, dengan target mulai produksi tahun ini.
Setelah itu, proyek Pomalaa dijadwalkan menyusul pada kuartal II/2026, sedangkan Sorowako akan menjadi tahap akhir dari rangkaian ekspansi Vale Indonesia. Ketiga tambang tersebut sepenuhnya dimiliki oleh perusahaan.
Dalam pengembangan hilir, Vale bermitra dengan sejumlah pemain global untuk membangun fasilitas HPAL.
Untuk proyek Pomalaa, Vale telah bekerja sama dengan Huayou dan Ford dalam pembangunan smelternya. Sementara untuk Bahodopi, proyek dilakukan bersama GEM, dan di Sorowako, Vale kembali berkolaborasi dengan Huayou.
(art/naw)

































