Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz telah meminta konfirmasi dan tanggapan terkait dengan laporan PHK tersebut kepada Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer dan Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemenaker Indah Anggoro Putri. Sampai berita ini tayang, keduanya belum memberikan respons.

Kemudian, Bloomberg Technoz juga telah menghubungi Kepala Dinas Penanaman Modal dan  Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Pemprov Sulsel Asrul Sani, tetapi yang bersangkutan mengaku tidak mengetahui kabar tersebut. 

Langgar UMP

Di sisi lain, Abdul mengeklaim Upah Minimum Provinsi (UMP) 2025 juga belum diterapkan oleh Huadi Group. Upah lembur pun tidak dibayar sesuai ketentuan, bahkan serikat pekerja dikesampingkan dari seluruh proses perundingan bipartit. Adapun, UMP 2025 untuk Provinsi Sulsel adalah Rp3.657.527.

“Ini bukan sekadar persoalan administrasi. Ini adalah bentuk nyata penindasan terhadap buruh di tengah industri yang dibanggakan pemerintah. Kami yang bekerja siang malam di tengah asap smelter, justru dikeluarkan begitu saja tanpa perlindungan, tanpa kejelasan,” jelasnya. 

Di tengah krisis ketenagakerjaan, kata dia, masyarakat Bantaeng juga menghadapi krisis lingkungan akibat operasional industri hilir nikel. Abdul menuding PT Huadi melakukan pencemaran udara dan air, merusak sawah, pesisir, dan ruang hidup warga setempat.

“Kami menyatakan bahwa DPRD Kabupaten Bantaeng tidak boleh tinggal diam. Lembaga ini dipilih untuk melindungi rakyat, bukan tunduk pada kepentingan modal,” ujarnya. 

Dalam kaitan itu,  SBIPE menyampaikan lima tuntutan yakni  membentuk Panitia Khusus (Pansus) DPRD untuk menyelidiki pelanggaran ketenagakerjaan dan lingkungan oleh PT Huadi dan anak perusahaannya.

Kemudian, meminta pemerintah agar dapat memaksa perusahaan membayar seluruh hak buruh, termasuk gaji tertunda, upah lembur, dan pesangon sesuai ketentuan.

Lalu, SBIPE meminta untuk menghentikan PHK dan merumahkan pekerja secara sepihak yang dilakukan tanpa dasar hukum dan tanpa musyawarah. Selanjutnya, perusahaan diminta dapat segera berlakukan UMP 2025 dan perusahaan dapat mematuhi aturan tersebut.

Selanjutnya, DPRD dan pemda harus berpihak pada buruh dan warga, bukan hanya pada investasi dan pemilik modal.

“Kami berdiri hari ini bukan untuk mengemis belas kasihan. Kami datang untuk menuntut hak, membela kehidupan, dan memastikan masa depan yang lebih adil bagi semua buruh di Bantaeng dan Indonesia,” jelasnya. 

Diberitakan sebelumnya, industri smelter nikel khususnya yang berbasis rotary kiln electric furnace (RKEF) atau pirometalurgi di Indonesia yang selama ini sudah cukup tertekan.

Beberapa pemain besar di sektor ini bahkan telah melakukan penyetopan lini produksi sementara sejak awal tahun ini akibat margin yang makin menipis, bahkan mendekati nol, saat permintaan baja nirkarat China turun dan biaya produksi makin meningkat.

Anggota dewan Penasihat Asosiasi Penambang Indonesia (APNI) Djoko Widajatno mengatakan setidaknya terdapat empat perusahaan smelter nikel yang terpantau telah melakukan penyetopan sementara atau shutdown sebagian lini produksinya.

Mereka a.l. PT Gunbuster Nickel Industry (GNI) dan PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS) yang masing-masing beroperasi di kawasan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), Sulawesi Tengah.

Lalu, Huadi PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) di Konawe, Sulawesi Tenggara dan PT Huadi Nickel Alloy Indonesia (HNAI).

Sekadar catatan, saham ⁠PT Huadi Nickel Alloy Indonesia dimiliki oleh Shanghai Huadi sebanyak 51% dan Duta Nickel Sulawesi 49%. Adapun, total investasi pembangunan pabrik pengolahan nikel perusahaan tersebut sebesar Rp5,3 triliun.

Lokasi smelter tersebut berada di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan dengan luas 150 hektare (ha) dan memulai produksi sejak 2018 dengan kapasitas saat ini mencapai 350.000 ton feronikel (FeNi) per tahun.

(mfd/wdh)

No more pages