Logo Bloomberg Technoz

Ekonom: Hasil Negosiasi Tarif Tetap Merugikan Posisi RI

Dovana Hasiana
16 July 2025 14:02

Ilustrasi neraca dagang (Bloomberg)
Ilustrasi neraca dagang (Bloomberg)

Bloomberg Technoz, Jakarta - Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menilai kesepakatan tarif 19% untuk barang ekspor Indonesia ke AS, sementara Negeri Paman Sam bisa mendapatkan fasilitas 0% sebenarnya memiliki risiko tinggi bagi neraca perdagangan Indonesia.

Di satu sisi, ekspor produk alas kaki, pakaian jadi, minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO), dan karet memang diuntungkan dengan tarif 19%. Meskipun, perlu digarisbawahi penurunan tarif Vietnam dari 46% ke 20% lebih signifikan dibanding penurunan tarif Indonesia yang sebelumnya 32% ke 19%.

Di sisi lain, impor produk dari AS akan membengkak, salah satunya sektor minyak dan gas, produk elektronik, suku cadang pesawat, serealia, serta produk farmasi. Perlu diketahui, total impor lima jenis produk ini mencapai US$5,37 miliar setara Rp87,3 triliun sepanjang 2024.


"Hal yang harus dipantau adalah pelebaran defisit migas, menekan kurs rupiah dan menyebabkan postur subsidi Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara [RAPBN] 2026 untuk energi meningkat tajam. Alokasi subsidi energi 2026 yang sedang diajukan pemerintah Rp203,4 triliun, tentu tidak cukup. Setidaknya butuh Rp300-320 triliun. Apalagi ketergantungan impor bahan bakar minyak [BBM] dan liquefied petroleum gas [LPG] makin besar," ujar Bhima kepada Bloomberg Technoz, Rabu (16/7/2025).

Selain itu, kesepakatan tarif 0% produk dari AS ke Indonesia juga bakal berdampak pada swasembada pangan dan produsen lokal. Sebab, AS dinilai merasakan untung yang besar dari penetrasi ekspor gandum ke Indonesia karena tarif 0%.