Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta - Psikolog klinis anak dan remaja dari Klinik SAJIVA Rumah Sakit Khusus Jiwa (RSKJ) Dharmawangsa, Mira Damayanti Amir mengungkapkan bahwa anak yang tumbuh tanpa kehadiran ayah (fatherless) bisa memiliki dampak yang beragam, sesuai kondisi.

Dampaknya dapat meliputi sulit berinteraksi sosial dan membangun relasi yang positif, susah untuk memperoleh tingkat kecerdasan maksimal, kurang percaya diri, sulit mengatur emosi, kontrol diri (self control) yang rendah, disorientasi seksual, hingga berdampak ke kualitas hubungan pernikahan yang buruk.

“Jadi dampaknya bagaimana juga tiap kasus tentunya berbeda, yang ditelisik di awal itu adalah kondisinya seperti apa, yang menyebabkan si anak ini menjadi fatherless,” kata Mira ketika dihubungi Bloomberg Technoz pada Selasa malam (15/7/2025).

Lulusan sarjana psikologi dari Universitas Indonesia (UI) itu menuturkan, kondisi anak yang fatherless bisa berbeda pada tiap anak. Misalnya ayahnya wafat, meninggalkan keluarganya tanpa kejelasan, bercerai dengan ibunya, atau pada situasi di mana ada sosok ayah namun bersifat pasif serta situasi di rumahnya tak kondusif.

“Nah itu kan kondisinya bermacam-macam gitu kan, lalu juga diliat usia berapa nih si anak ini mengalami fatherless. Semakin kecil usia anak, biasanya dampaknya juga semakin signifikan,” ujar Mira.

Dia pun bercerita, baru kemarin sore, Selasa (15/7/2025) dirinya menangani kasus anak dengan fatherless, di mana ayahnya meninggal dunia karena sakit saat anak itu masih dalam kandungan sang ibu dengan usia kehamilan sekitar 2 minggu. Anak lahir dengan kondisi ibunya sebagai orang tua tunggal (single parent). Ibunya berstatus pegawai negeri sipil (PNS) dengan kesibukan yang luar biasa seperti kerap bepergian keluar kota, terkadang rapot anaknya tak diambil karena tidak sempat, sehingga anaknya dibesarkan oleh asisten rumah tangga (ART) dan tantenya.

Mira menyebut anak itu secara akademis tak ada masalah, namun pada usianya yang ke-35 tahun, akhirnya terkuak bahwa dampak panjang dari kondisi fatherless secara langsung ataupun tidak langsung. Seperti kesulitan untuk membangun relasi dan berinteraksi sosial, serta membuat kondisinya mengalami kelelahan fisik dan mental (burnout), sehingga berdampak terhadap kualitas pernikahan yang buruk. 

“Yang menjadi masalah bagi orang awam, dampak psikologis tersebut, tadi kalau ada saya [kasih] ilustrasi kasus, langsung ataupun tidak langsung dampaknya, nah buat orang awam ini sulit memastikan bahwa ini loh dampak dari fatherless tersebut,” kata Mira.

Dia juga sempat menemukan klien yang mengalami disorientasi seksual akibat fatherless. Beberapa kliennya khususnya anak laki-laki harus berusaha keras untuk mencari figur ayah, entah dari guru, guru les, paman, ataupun pelatih karate. 

“Mereka benar-benar apa striving (berjuang) untuk mempelajari how to be a man (bagaimana menjadi seorang pria),” tutur Mira.

Sementara itu, dia menyebut bahwa kondisi fatherless juga berdampak pada anak perempuan, misalnya mereka suka kebingungan untuk berinteraksi dengan lawan jenisnya, termasuk soal apa yang boleh dan tidak boleh atau batasan-batasannya. Menurut Mira, anak yang tumbuh tanpa kehadiran ayah pun memiliki variabel lain yakni bagaimana ibu mengatasinya.

“Ibunya harus bisa berperan maksimal. Anak baru sadar setelah dewasa, setelah menemui benturan sana sini,” ujar dia.

Lanjut Mira, orang tua harus bertanggung jawab dalam hal ini dan ibu perlu berperan semaksimal mungkin termasuk mendidik anak hingga soal finansial. Di samping itu, berdasarkan data Dana Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) tahun 2021, terdapat 20,9% anak Indonesia tak memiliki figur ayah dan hanya 37,17% anak usia 0-5 tahun yang diasuh oleh kedua orang tua, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) 2021.

“Kondisi fatherless secara statistik bisa dikatakan mengkhawatirkan, karena ke depannya kalau memang tidak ada tindakan [dari pemerintah] baik preventif, kuratif, ya angkanya bisa semakin membengkak,” kata Mira menanggapi data UNICEF dan BPS tersebut.

Kemudian dia mendorong pemerintah untuk memfasilitasi konseling pra nikah dan tak memperkenankan pernikahan usia dini guna menurunkan angka anak dengan kondisi fatherless di Tanah Air. Lalu, pemerintah juga perlu memberikan pendidikan yang memadai serta lapangan pekerjaan kepada masyarakat agar mereka siap terjun ke dunia kerja dan pernikahan nantinya.

“Kadang-kadang juga kondisi fatherless karena ayah yang frustasi, kebingungan bagaimana menghidupi keluarganya, ya dia bisa kabur atau apa gitu kan. Itu yang bisa dilakukan pemerintah dan kita butuh itu,” ujar Mira.

“Saya pribadi ngeliat fenomena para pencari kerja yang tumpah ruah, bahkan untuk kerja di minimarket atau perusahaan ritel yang kecil, itu ya prihatin karena dampaknya pasti ke keluarga, langsung enggak langsung tuh ke keluarga. Kualitas interaksi juga terpengaruhi, sehingga mungkin orang tuanya satu rumah, tapi peran ayahnya minim,” imbuh dia.

(far/spt)

No more pages