Hal yang mungkin memberatkan posisi Indonesia adalah karena sikap untuk lepas dari sistem keuangan AS—dengan bergabung bersama BRICS — yang harus diantisipasi dengan baik dan sesuai hukum internasional.
Ketika negosiasi tarif AS gagal, kata Hadi, tidak ada poin penting lagi bagi RI untuk tetap mengimpor migas dari Negeri Paman Sam, baik untuk minyak mentah, bahan bakar minyak (BBM), gas minyak cair atau liquified petroleum gas (LPG), maupun gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG).
Alasannya karena lokasi dan jarak AS lebih jauh serta komposisi utama LPG yang tidak sama dengan di Indonesia, sehingga perlu biaya modifikasi.
“Alternatif lain kecuali pemasok eksisting, sangat mungkin untuk melihat alternatif suplai dari Rusia,” ujarnya.
Hadi berpandangan pemerintah harus pandai dalam memanfaatkan lobi perdagangan dengan AS sehingga RI bisa mendapat tawaran yang lebih rendah dari tarif yang dipatok sebesar 32%.
“Tidak mudah memang, tetapi layak dicoba. Semoga pemerintah, khususnya Kementerian ESDM, mampu menggunakan ini untuk membuka dialog yang lebih win-win solution,” tuturnya.
Dengan begitu masifnya kebijakan Presiden Donald Trump, kata dia, Indonesia perlu memperkuat aliansi ekonomi di Asean, BRICS, Timur Tengah, hingga Afrika untuk membuka peluang pasar bagi Indonesia.
“Semua orang tidak menyangka memang, kita menghadapi perang tarif AS yang dahsyat ini,” imbuhnya.
Sebelumnya, Juru Bicara Kemenko Perekonomian Haryo Limanseto mengatakan selama ini tarif untuk Indonesia sebesar 32% masih tergolong tinggi di kawasan Asia Tenggara.
"Kita ingin di kawasan Asean ini, khususnya mungkin Asia, bahwa kita bisa mendapatkan tarif yang rendah atau lebih rendah," ujarnya Haryo dalam media briefing di kantornya, Rabu (9/7/2025).
Tarif untuk produk asal Indonesia pada level 32% lebih tinggi dibandingkan dengan Filipina sebesar 17%, Vietnam sebesar 20%, dan Malaysia sebesar 25%. Namun, tarif Indonesia masih lebih rendah dari Thailand sebesar 36%, Kamboja sebesar 36%, Myanmar dan Laos sebesar 40%.
Di sisi lain, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung memastikan pemerintah masih melanjutkan proposal impor migas dari AS, meski Indonesia tetap diganjar tarif resiprokal sebesar 32% per 1 Agustus.
Yuliot mengatakan kementeriannya masih akan menunggu negosiasi lanjutan yang akan dilakukan oleh Airlangga di Washington D.C. pekan ini.
“Ini kan Pak Menko Perekonomian [Airlangga] kan masih mengupayakan. Jadi kan kita sudah over kan untuk trade balance, itu dari sisi energi kan [rencana impor dari AS] sekitar US$15 miliar. Jadi ya kita lihat saja itu bagaimana keputusan akhirnya,” kata Yuliot ditemui di sela kegiatan diskusi migas, Selasa (8/7/2025).
“Jadi ya kita tunggu dulu Pak Airlangga [selesai negosiasi dengan AS].”
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor migas Indonesia sepanjang 2024 mencapai US$36,27 miliar. Postur impor itu berasal dari pembelian minyak mentah sekitar US$10 miliar dan hasil migas sebesar US$25,92 miliar.
Sebagian besar impor minyak mentah Indonesia berasal dari Arab Saudi, Angola, Nigeria hingga Australia. Sementara itu, impor BBM kebanyakan berasal dari kilang di Singapura.
(mfd/wdh)