Logo Bloomberg Technoz

Mahendra juga memaparkan, terdapat protection gap atau kesenjangan perlindungan di kawasan Asia Pasifik termasuk Indonesia. Angkanya ditaksir mencapai US$886 miliar pada tahun 2022.

Kata dia, hal itu mencerminkan belum meratanya proteksi asuransi terhadap berbagai risiko kesehatan. Bahkan Mahendra menyebut, pada 2025, tingkat inflasi kesehatan diperkirakan mencapai 13,6%.  

Dalam kesempatan yang sama Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun (PPDP) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Ogi Prastomiyono mengatakan, pada posisi Mei 2025 aset sektor perasuransian mencapai Rp1.163,62 triliun atau tumbuh 3,84% year-on-year (yoy).

Ogi menyebut, hingga saat ini total pelaku usaha untuk industri perasuransian terdapar 146 perusahaan dengan total premi mencapai Rp2217,17 triliun, tumbuh 3,19% secara yoy. 

Kemudian, untuk total klaim pada posisi Mei 2025 mencapai Rp164,44 triliun. Sedangkan untuk rasio klaim berada di level 75,72%.

"Jumlah polis itu melebihi dari penduduk Indonesia. Berarti satu orang memiliki lebih dari satu polis Rp481,38 juta," jelasnya.

OJK Tunda Kebijakan co-payment Asuransi 

OJK memastikan akan menunda pelaksanaan kebijakan co-payment asuransi yang rencananya akan diterapkan pada 1 Januari 2026 mendatang. Co-payment merupakan skema pembayaran sebagian biaya layanan kesehatan oleh pemegang polis asuransi atau pasien, selain dari yang ditanggung oleh perusahaan asuransi.

Hal itu disampaikan Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun sebagai kesimpulan rekomendasi dalam Rapat Kerja antara DPR dan OJK. Ia menyebutkan, OJK akan menunda pelaksanaan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 7 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan sampai diberlakukannya POJK.

Selain itu, Komisi XI akan melaksanakan partisipasi dalam rangka menyerap aspirasi dari pihak yang berkepentingan tentang pengaturan Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan.

"Dalam meaningful participation, kami akan mendengarkan," kata Misbakhun di DPR RI, Senin (30/6/2025).

Menanggapi hal itu, Ketua OJK Mahendra Siregar menyanggupi dan memahami kesimpulan yang diberikan Komisi XI DPR RI tersebut. Katanya, kebijakan ini perlu dilakukan agar lebih efektif.

"Kami dapat menyepakati dengan pemahaman tadi. Karena memang hal ini perlu kita lakukan seefektif mungkin," sebutnya.

Dalam Surat Edaran Nomor 7/2025 tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan, OJK menilai mekanisme co-payment atau deductible akan mendorong peningkatan kesadaran pemegang polis atau tertanggung dalam memanfaatkan layanan medis yang ditawarkan oleh fasilitas kesehatan.

OJK mengatur produk asuransi kesehatan harus menerapkan pembagian risiko (co-payment) yang ditanggung oleh pemegang polis, tertanggung, atau peserta paling sedikit 10% dengan batas maksimum Rp300.000 untuk rawat jalan per pengajuan klaim dan Rp3 juta untuk rawat inap per pengajuan klaim.

Di sisi lain, OJK juga mengatur bahwa perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah dan unit syariah pada perusahaan asuransi dapat menerapkan batas maksimum yang lebih tinggi sepanjang disepakati antara perusahaan dengan pemegang polis, tertanggung atau peserta serta telah dinyatakan dalam polis asuransi.

(lav)

No more pages