Logo Bloomberg Technoz

Nanang mengatakan Indonesia dapat menggunakan dua tempat atau tapak yang berbeda untuk mengembangkan teknologi SMR.

“Bisa kita gunakan teknologi negara yang berbeda, tetapi basis PLTN SMR. Kalau secara peraturan harus berbasis PLTN darat, belum ada yang PLTN terapung. Artinya kalau ada tipe SMR floating, dapat di dock ke pantai sehingga menyatu dengan darat untuk dioperasikan,” ujarnya.

Dalam kaitan itu, PLTN akan dibangun di atas kapal dalam dengan kapasitas kecil untuk mulai pengenalan operasi yakni dengan kapasitas sekitar 30 MW.

Menurutnya, PLTN SMR lebih baik dibangun bertahap dari kapasitas kecil hingga besar untuk meminimalisasi dampak yang ditimbulkan ke depannya.

Nanang juga memerinci jenis teknologi bisa bervariasi dari teknologi yang sudah memiliki lisensi dan sudah beroperasi untuk bekerja sama.

Negara tersebut seperti China yang mempunyai jenis teknologi PLTN berbasis SMR light water reactor (LWR) dan juga high temperature reactor (HTGR).

Kemudian, Korea yang memiliki teknologi SMR LWR, Amerika Serikat (AS) yang memiliki basis teknologi SMR LWR, serta Rusia dengan teknologi tipe LWR dengan jenis floating PLTN atau terapung dan bisa juga ditempatkan di dock pantai atau di atas kapal.

Dia menjelaskan teknologi reaktor SMR dari Rusia yang ada dan tersedia berbasis LWR floating. Sementara itu, AS dengan teknologi NuScale, Korea dengan SMART/iSMR, China dengan ACP100. Ketiganya menggunakan SMR LWR berbasis darat.

Secara aturan, kata dia, PLTN berbasis darat bisa diimplementasikan di Indonesia. Namun, harga akan relatif tergantung skema keuangan dan investasi yang dipakai.

Pembangunan unit pertama PLTN akan mempunyai harga yang relatif lebih mahal. Akan tetapi, apabila banyak unit dibangun di lokasi tapak, harga listrik yang dihasilkan bisa lebih kompetitif.

Risiko Keamanan

Terkait dengan risiko keamanan, Nanang menyebut akan menjadi tanggung jawab negara dalam hal ini Kementerian Pertahanan. Sementara itu, risiko geopolitik akan menjadi tanggung jawab Kementerian Luar Negeri.

Dia menuturkan pemanfaatan PLTN untuk swasembada dan kemandirian energi adalah hak setiap bangsa sehingga program tersebut merupakan hak berdaulat dari sebuah negara.  

Koordinasi nasional pemangku kepentingan yang solid sangat diperlukan, serta kolaborasi internasional dengan International Atomic Energy Agency (IAEA) untuk memperkuat rantai pasok industri PLTN.

“Secara bertahap meningkatkan TKDN teknologi PLTN sehingga kebergantungan suplai dari luar negeri makin berkurang dengan tumbuhnya industri lokal terkait Iptek nuklir, capacity building, dan SDM yang juga dipersiapkan untuk menopang industri nuklir nasional," ujar Nanang.

Presiden Prabowo Subianto tiba-tiba panggil Menko Ekonomi Airlangga Hartarto. (Bloomberg Technoz/Azura Yumna)

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan saat ini Indonesia masih dalam tahap studi kelayakan untuk PLTN skala kecil, termasuk teknologi yang ditawarkan Rusia melalui State Atomic Energy Corporation Rosatom (Rosatom).

Airlangga mengatakan nuklir memang masuk dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025—2034 dengan kapasitas tahap awal untuk PLTN sekitar 500 megawatt (MW).

“Kalau nuklir kan kita feasibility study dahulu, di dalam RUPTL kan kita memang merencanakan untuk membangun nuklir sampai dengan 500 MW,” kata Airlangga di sela pertemuan bilateral di Rusia pekan lalu.

Di sisi lain, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung mengatakan sudah mempelajari potensi penggunaan SMR untuk proyek PLTN perdana yang ditargetkan beroperasi pada 2030. Beberapa negara, seperti Kanada dan Korea Selatan, pun telah dijajaki.

Hanya saja, kata Yuliot, Kanada ternyata tidak mengembangkan pembangkit nuklir menggunakan SMR, sedangkan Korea Selatan hanya memiliki kapasitas reaktor besar.

“Jadi untuk teknologi yang ditawarkan katanya itu ada dari China atau dari Rusia. Ini mungkin dari kunjungan Pak Menteri [Bahlil Lahadalia] kemarin [ke St. Petersburg, Rusia] mungkin ada pembahasan,” kata Yuliot saat ditemui di kantor Kementerian ESDM, Jumat (20/6/2025).

Siapapun investor yang akan dipilih Indonesia dalam pengembangan PLTN perdana nantinya, Yuliot menegaskan perusahaan tersebut harus memiliki teknologi yang kompeten dan memenuhi persyaratan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) sebesar 40%.

Rusia sendiri memang merupakan salah satu negara terbesar yang mengembangkan energi nuklir.

Menyitir situs resmi International Atomic Energy Agency, per 2024, Rusia memiliki 36 reaktor nuklir yang beroperasi dengan kapasitas total 26.802 MWe; 4 reaktor nuklir sedang dibangun dengan total kapasitas 3.850 MWe; 11 reaktor nuklir ditutup dengan total kapasitas 4.882 MWe; dan 18% dari total listrik yang dihasilkan berasal dari energi nuklir.

(mfd/wdh)

No more pages