Tak cuma soal daya beli saja, menurut Kukuh harga mobil yang terus mencatatkan kenaikan menjadi salah satu alasan adanya penurunan penjualan. Kenaikan ini bahkan lebih tinggi dari pendapatan potensi pembeli. Hal ini menurutnya terutama karena pajak yang ada di Indonesia cukup besar.
“Karena pajaknya luar biasa banyaknya. Saya sendirian saja yang sudah banyak disingging, bahwa kita punya mobil yang sama dibuat di Indonesia. Avanza [Toyota] misalnya kan. Dibuat di Indonesia, diekspor ke Malaysia. Di Malaysia pajaknya itu tidak sampai 1 juta rupiah. Kalau sudah dikonfirmasikan rupiah ya. Sementara di Indonesia pajaknya mungkin sekitar 4 jutaan.” kata Kukuh.
Kukuh juga bilang, kebijakan resiprokal tarif untuk mobil kedua dan juga situasi global yang sedang tidak baik-baik saja turut membanting kinerja pasar otomotif yang ada di Indonesia.
Senada, pengamat otomotif Agus Tjahajana Wirakusumah mengatakan kalau daya beli masyarakat lagi-lagi menjadi momok bagi industri otomotif Indonesia. Faktor fundamental seperti perlambatan ekonomi menjadi penghambat pertumbuhan penjualan mobil.
Terlebih lagi, mobil merupakan kebutuhan tersier yang sangat sulit dibeli dalam keadaan perlambatan ekonomi saat ini. Masyarakat, menurutnya akan lebih memilih untuk membeli kebutuhan-kebutuhan pokoknya.
“Boro-boro mau ambil keputusan untuk itu [membeli mobil]. Paling yang beli ya kalangan yang betul-betul di atas” kata Agus kepada Bloomberg Technoz, Juni (16/6/2025)
Meski begitu Agus merasa bahwa faktor-faktor eksternal juga punya peran signifikan atas perlambatan industri mobil dalam negeri.
“Kalau saya lihat sih ya, ini lebih kompleks ya dibanding yang pernah kita apa namanya, alami. Dulu kan karena ada krisis, permintaan turun. Tapi itu lebih banyak dari karena eksternal faktor ya. Jadi dari luar, misalnya krisis di Thailand, merebet ke sini, krisis finansial di mana, merembet ke sini.” ujarnya.
(ell)































